BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan saat ini, sulit sekali menghindari kegiatan transaksi yang menggunakan sistem bunga. Ketidakpastian nilai uang yang disebabkan oleh adanya inflasi adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan diterapkannya sistem bunga. Nilai uang saat ini berbeda dengan nilai dimasa depan. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menabung di bank konvensional maupun syariah untuk mengantisipasi ketidakpastian nilai uang tersebut. Padahal pada kenyataannya, inflasi bukanlah penyebab adanya bunga, melainkan sebaliknya, bungalah yang menyebabkan adanya inflasi. Jadi, sangatlah keliru apabila ada seseorang atau lembaga keuangan tertentu yang menjadikan inflasi sebagai alasan untuk menetapkan tingkat suku bunga.
Di zaman modern seperti sekarang, inflasi adalah permasalahan ekonomi serius yang harus dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Jumlah uang beredar menurut sudut pandang kaum moneteris adalah faktor utama terjadinya inflasi di setiap negara tanpa terkecuali Indonesia.
Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya moneterisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi[1].
Untuk membendung laju inflasi yang tidak diharapkan, Indonesia memiliki  Bank Indonesia selaku  bank sentral yang berwenang dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan moneter. Selain itu, ada juga lembaga keuangan mempunyai peran sangat penting dalam kegiatan moneter.  Khususnya lembaga keuangan syariah yang telah terbukti tahan akan krisis inflasi pada tahun 1997-1998.
Apa peran sesungguhnya bank syariah sebagai salah satu faktor penting dalam mengatasi inflasi? Instrumen apa saja yang digunakan? Apa sudah sesuai dengan tujuan syariah? Apa saja yang harus diubah atau digantikan dalam instrumen yang digunakan bank syariah? Pada tulisan inilah saya akan membahas peran bank syariah dalam kebijakan moneter dan membahas khusus instrument Surat Bank Indonesia Syariah akad Jualah yang belum sesuai dengan tujuan syariah.



1.2 Rumusan Masalah                                                             
1.   Apa peran bank syariah dalam kebijakan moneter?
2.   Instrumen apa saja yang digunakan dalam kebijakan moneter syariah?
3.   Apa itu Sertifikat Bank Indonesia Syariah jua’lah?
4.   Kenapa ada Inflasi dan apa itu bonus Inflasi SBIS Jua’lah?
5.   Apa alternatif pengganti bonus SBIS Jua’alah?

1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk melaksanakan tugas Ujian Tengah Semester Lembaga Keuangan Syariah yang dibimbing oleh Dosen Mohammad Mujibur Rahmat, S,Ag, MA dan untuk mengetahui berbagai keuntungan dan kelemahan instrumen Bank syariah dalam kebijakan moneter.





           











BAB II
Pembahasan

2.1 Peran Bank Syariah dalam Kebijakan Moneter
        Ketahanan bank syariah terhadap inflasi yang disebabkan krisis moneter pada tahun 1997-1998 telah membuka mata para ekonom dan praktisi keuangan bahwa bank syariah kebal akan krisis. Oleh karena itu, hingga saat ini banyak bank syariah yang telah didirikan. Sehingga pada tahun 2002, Bank Indonesia menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”.[2]
        Keberadaan sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia kini telah mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi kiprah dan sepak terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan diloloskannya Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undang-undang yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008. Undang-undang tersebut sangat penting bagi bank syariah dalam menjalankan bisnisnya. Jumlah nasabah bank syariah meningkat drastis karena kepercayaan mereka terhadap bank syariah meningkat. Pada tahun 2012 terdapat 13,4 juta rekening di bank syariah dengan total nilai Rp.179 Triliun (4,4 % dari asset perbankan nasional).[3]
        Banyaknya penabung yang mempercayakan dananya pada bank syariah menjadi alasan BI untuk membuat kebijakan moneter khsususnya dalam operasi terbuka untuk menerbitkan instrumen khusus bagi bank syariah.
2.2 Instrumen Moneter Syariah
          Operasi  Moneter  Syariah  disebut  OMS adalah  pelaksanaan  kebijakan  moneter  oleh  Bank  Indonesia  dalam  rangka  pengendalian  moneter  melalui  kegiatan  operasi  pasar  terbuka  dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah  kegiatan  transaksi  pasar  uang  berdasarkan  prinsip  syariah yang  dilakukan  oleh  Bank  Indonesia  dengan  Bank  dan  pihak  lain dalam rangka OMS.  Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS.[4]


Instrumen moneter syariah ada dua, yaitu :                                   
2.2.1 Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. (Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara)
2.2.2 Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
                    Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.

2.3 SBIS JUALAH
         Sertifikat  Bank  Indonesia  Syariah  Ju’alah  (SBIS  Ju’alah) adalah  SBIS  yang  menggunakan  Akad Ju’alah. SBIS Ju’alah sebagai instrumen moneter boleh diterbitkan untuk pengendalian moneter dan pengelolaan  likuiditas perbankan syariah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.[5]

         Sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008, SBIS disebut SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia).  SWBI sendiri menggunakan akad wadiah. Hal inilah yang menyebabkan banyak bank syariah yang enggan membeli SWBI untuk menempatkan dananya di BI dikarenakan tingkat pengembaliannya yang dianggap terlalu kecil dan tidak sebanding dengan bunga yang diterima oleh bank konvensional.. Oleh karena itu Bank Indonesia mengatasinya dengan menerbitkan SBIS akad jualah yang tingkat pengembaliannya sudah tercantum diawal akad.
         Pergantian akad SWBI menjadi SBIS ju’alah ini mengalami pra kontra. Hal ini dikarenakan :
·         Return yang diperoleh ketika menggunakan akad wadiah  jauh lebih besar dibandingkan return pada saat menggunakan akad ju’alah
·         Tingkat bonus yang didapatkan melalui SWBI sudah pasti ada, Sedangkan imbalan yang diterima dari SBIS sifatnya tidak continue  karena hanya akan diberikan ketika target yang diminta oleh Bank Indonesia dapat dicapai oleh  perbankan syariah yang bersangkutan. [6]

Namun terlepas dari permasalahan tersebut, yang paling penting adalah apakah bonus atau imbalan yang diterima atas pembelian SWBI atau SBIS ini sudah sesuai dengan prinsip ekonomi syariah?


2.4. Inflasi dan Bonus inflasi SBIS Jualah
Dalam ekonomi konvensional, kebijakan moneter dalam mengatasi tingkat inflasi yang tidak diinginkan, khususnya operasi pasar terbuka akan selalu berefek negatif terhadap perekonomian.   Meski dapat mengendalikan tingkat inflasi sesuai dengan tingkat inflasi yang diharapkan. Sebenarnya, kebijakan tersebut hanya menciptakan “inflasi baru”. Inflasi  yang disebabkan pembayaran bunga sebagai imbalan terhadap bank-bank yang telah berpartispasi dalam melaksanakan kebijakan moneter. Sehingga dalam ekonomi konvensional sangat mustahil untuk menghilangkan bahkan menghindari inflasi. Ketidakmampuan para ekonom konvensional untuk menghilangkan dan menghindari inflasi inilah maka timbullah pernyataan bahwa “inflasi adalah suatu hal yang wajar dalam perekonomian”
Inflasi yang disebabkan oleh banyaknya jumlah uang beredar adalah akibat dari penerapan sistem bunga. Di Amerika Serikat, penyebab utama adanya inflasi adalah penciptaan uang baru. Penciptaan uang baru yang digunakan untuk membeli keperluan pemerintah dan membayar bunga berbagai surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah sentralnya.
Dalam Modern Money Mechanic , uang diciptakan ketika ada hutang (money is debt) contohnya :
Pemerintah Amerika membutuhkan uang sejumlah $10.000.000.000 untuk menutupi kekurangan anggaran belanja pemerintah, lalu menerbitkan obligasi pemerintah dan menjualnya kepada bank sentral Amerika (FED). FED lalu menerima obligasi tersebut dan memberikan nota FED kepada pemerintah dan pemerintah Amerika menyimpan nota tersebut ke dalam akun bank sehingga nota tersebut menjadi uang yang sah, menambah $10.000.000.000 kedalam jumlah uang Amerika. Dan begitulah uang baru sebesar $10.000.000.000 tercipta. Penciptaan uang baru tersebut diciptakan secara elektronik (Modern Money Mechanic), tanpa kertas sama sekali.Itulah mengapa hanya 3% cadangan uang Amerika yang berbentuk fisik, 97% sisanya berbentuk digital. $10.000.000.000 akan menambah jumlah uang beredar di Negara Amerika sehingga inflasi sangat sulit dihindari. [7]



Selain itu, penyebab inflasi adalah pembayaran bunga surat berharga pemerintah dalam mengendalikan kebijakan moneter. Contoh :
Jumlah uang beredar di Negara A adalah $100.000. Barang riil yang ada di Negara A itu ialah :
a)      Beras $20.000
b)      Pakaian $15.000
c)      Emas $30.000
d)      Barang elektronik $20.000
e)      Barang lainnya $15.000

Namun apabila pemerintah menciptakan uang baru untuk membayar bunga surat berharga pemerintah sebanyak $5000 sebagai efek diterapkannya operasi terbuka untuk mengendalikan  moneter. Maka Negara A akan mengalami inflasi sebesar 5% dikarenakan uang tersebut diciptakan dari ketiadaan.
a)   Beras $21.000 (+5%)
b)   Pakaian $15.750 (+5%)
c)   Emas $31.500 (+5%)
d)   Barang elektronik $21.000 (+5%)
e)   Barang lainnya $15.750 (+5%)
Di Indonesia, penerapan kebijakan moneternya hampir sama dengan apa yang telah diterapkan oleh Negara Amerika. Bedanya, di Indonesia menerapkan kebijakan moneter khusus yang tidak digunakan oleh Amerika, yaitu Operasi Moneter Syariah.
     Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Operasi Moneter Syariah ini menjadi harapan baru bagi perekonomian Indonesia untuk memperkecil tingkat inflasi bahkan jika sudah diterapkan seluruhnya (menggantikan  operasi moneter konvensional) diharapkan mampu menghilangkan “inflasi yang disengaja” dan juga menstabilkan nilai rupiah untuk jangka panjang. Prinsip pembelian instrumen moneter syariah, SBSN dan SBIS ju’alah yang tidak menggunakan bunga diharapkan sesuai dengan prinsip Syariah.
Islam tidak mengenal “inflasi yang disengaja”. Islam hanya mengenal inflasi alami (natural inflation) dan inflasi yang disebabkan kesalahan manusia (Human Eror Inflation).[8]
     Namun pada kenyataannya, harapan itu seakan hilang. Instrumen syariah khususnya SBIS Ju’alah yang dianggap menjadi solusi untuk mengatasi masalah “inflasi baru” justru malah berperan aktif dalam menambah tingkat inflasi. Meskipun mekanisme SBIS dengan SBI konvensional berbeda, kedua instrumen tersebut memiliki kesamaan dalam tujuan berpartisipasi dalam operasi moneter. Tujuan yang hanya didasarkan pada keuntungan belaka yang bersifat sementara tanpa memperhitungkan dampak yang akan diterima oleh Negara.
     Keuntungan yang didapat dari imbalan atau bonus pembelian SBIS menjadi motif utama bank syariah untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia. Bahkan, dikarenakan motif utama tersebut SWBI digantikan oleh SBIS.
     Wajar apabila Bank Syariah mengharapkan keuntungan yang didapatkan dari pembelian SBIS tersebut, karena Bank Syariah didirikan dengan tujuan utama untuk bisnis dan bertanggungjawab atas dana nasabah yang digunakan untuk pembelian SBIS tersebut. Namun yang jadi permasalahan disini adalah kegiatan transaksi yang bersifat elektronik dan bonus yang diterima adalah uang baru dalam bentuk digital bukan uang fisik. Bersifat elektronik dikarenakan ketika melakukan transaksi, bank syariah hanya memindahkan kepemilikan uang melalui sertifikat tanpa mengirimkan uang fisiknya secara langsung. Uang baru dalam bentuk digital disini maksudnya adalah ketika Bank Indonesia memberikan bonus kepada bank syariah, Bank Indonesia menerbitkan uang baru dalam bentuk digital tanpa menciptakan uang dalam bentuk fisik. Lebih parahnya lagi, selain menciptakan uang digital tanpa adanya uang berbentuk fisik, tidak ada barang atau jasa yang diciptakan untuk menyesuaikan nilai uang terhadap barang atau jasa yang beredar sehingga SBIS hanya menjadi penambah tingkat inflasi saja.

2.5. Alternatif Bonus Ju’alah

Untuk mengatasi inflasi, Bank Syariah bukan tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam kebijakan moneter dengan membeli SBIS, tetapi dikarenakan mekanisme dan bonus SBIS yang digunakan saat ini tidak sesuai dengan prinsip syariah, alangkah baiknya Bank Syariah meminta Bank Indonesia selaku bank sentral Indonesia untuk menggantikan bonus berupa “uang” diwaktu berikutnya dalam menerbitkan SBIS terbaru. Bank Indonesia harus memberikan bonus berupa barang komoditas sehingga tidak akan menambah uang baru dan tingkat inflasi akan menurun.
Meskipun saat ini mustahil menghilangkan inflasi di Indonesia (karena inflasi selalu ada ketika lembaga keuangan masih menggunakan system bunga) setidaknya Bank Syariah di Indonesia harus menjadi inisiator dan penggerak perekonomian tanpa inflasi.




BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Setiap Negara mempunyai penanganan khusus dalam mengatasi inflasi. Di Indonesia, mengatasi inflasi dengan dua metode, yaitu kebijakan moneter konvensional dan kebijakan moneter syariah. Peran Lembaga Keuangan baik yang konvensional maupun syariah sangat vital dalam kebijakan moneter. Terlebih lagi, kebijakan moneter syariah yang dianggap sebagai solusi atas banyaknya kelemahan kebijakan moneter konvensional. Kelemahan dari kebijakan moneter konvensional adalah dalam menggunakan bunga sebagai basisnya dan membayar bunga tersebut dengan menciptakan uang baru, sehingga masalah inflasi diselesaikan dengan membuat inflasi baru, oleh karena itu para ekonom konvensional yang tidak mampu menghilangkan inflasi berpendapat bahwa “inflasi adalah suatu hal wajar dalam perkonomian”, padahal pernyataan tersebut hanyalah bukti ketidakmampuan ekonom konvensional dalam menghilangkan inflasi.
Operasi Moneter Syariah mempunyai tujuan untuk mengatur keuangan Negara dengan prinsip syariah. Surat Berharga Syariah Nasional dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah  adalah instrument yang digunakan  untuk mengatur moneter. Namun pada kenyataannya, mekanisme instrumen SBIS ini tidak lebih baik dari SBI konvensional. SBIS pun menjadi salah satu penyebab terjadinya inflasi.  Hal ini dikarenakan bonus atau imbalan yang diterima oleh Bank Syariah berupa uang dari penciptaan uang baru yang diciptakan melalui penciptaan elektronik yang tidak diimbangi dengan penciptaan uang fisik dan barang komoditas baru.
Jumlah uang yang meningkat diakibatkan adanya bonus uang yang diterima oleh bank syariah sebagai imbalan karena telah meletakkan dananya di Bank Indonesia mengakibatkan “inflasi baru”. Oleh karena itu, mekanisme dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah harus diubah dan digantikan sesuai dengan prinsip ekonomi syariah.
3.2 Saran
·         Agar Bank Indonesia memperbaiki instrumen yang digunakan dalam Operasi Moneter Syariah, khususnya Sertifikat Bank Indonesia Syariah
·         Agar Bank Syariah mengkaji terlebih dahulu dampak yang diakibatkan dari bisnis dan kebijakan bank syariah
·         Agar kita semua tahu, bahwa saat ini bank syariah belum sempurna, masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, masyarakat pada umumnya dan akademisi khususnya untuk turut serta memperbaiki dan menyempurnakan bank syariah

3.3. Daftar Pustaka
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer.  Jakarta:  Pustaka Asatrus. 2005.
Brown, Ellen (Producer).2008. Web of Debt. G.M.P. LLC. America
Agustianto. “Peluang, Tantangan dan Outlook Perbankan Syariah 2013”. (Diakses dari ; http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/peluang-tantangan-dan-outlook-perbankan-syariah-2013.htm#.VFgvLVf5kom, pada 3 November 2014)
Ginting,Ramlan dkk “Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia”. (Diakses dari ; http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/Pages/pbi_101108.aspx, pada 3 November 2014)
Gulo, Melva. “Wadiah vs Ju’alah pada sertifikat Bank Indonesia Syariah”.. (Diakses dari ; http://www.scribd.com/doc/202449748/WADIAH-VS-JU-ALAH-PADA-SERTIFIKAT-BANK-INDONESIA-SYARIAH#download,  pada 3 November 2014)
Ifham,Ahmad. “SBIS ju’alah di bank syariah”.. (Diakses dari ;  http://www.ahmadifham.com/sbis-jualah-di-bank-syariah/ , pada 3 November 2014)
Laksono, Edi. “Peran BI dalam perbankan syariah”. (Diakses dari ; http://edhysono.blogspot.com/2012/06/edhy-peran-bi-dalam-perbankan-syariah.html, pada 3 November 2014)
Maskuroh, Nikmatul. “Inflasi dalam perspektif Islam”.. (Diakses dari ; http://nikmatulmaskuroh.blogspot.com/2013/10/ekonomi-islam-inflasi-dalam-perspektif.html, pada 4 November 2014)
Yulitinigsih,Riska. “Inflasi yang terjadi di Indonesia”.(Diakses dari ;   http://www.slideshare.net/nciezkdpurplelover/bab-i-4-36983226, pada 4 November 2014)







                                        


[1] Riska, Yulitinigsih. “Inflasi yang terjadi di Indonesia”. (Diakses dari: http://www.slideshare.net/nciezkdpurplelover/bab-i-4-36983226, pada 4 November 2014)

[2] Edi, Laksono. “Peran BI dalam perbankan syariah”. (Diakses dari : http://edhysono.blogspot.com/2012/06/edhy-peran-bi-dalam-perbankan-syariah.html, pada 3 November 2014)
[3] Agustianto. “Peluang, Tantangan dan Outlook Perbankan Syariah 2013 (Diakses dari ; http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/peluang-tantangan-dan-outlook-perbankan-syariah-2013.htm#.VFgvLVf5kom, pada 3 November 2014)
[4] Ramlan, Ginting  “Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia” (Diakses dari ; http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/Pages/pbi_101108.aspx, pada 3 November 2014)

[5] Ahmad, Ifham. “SBIS ju’alah di bank syariah”. (Diakses dari ;  http://www.ahmadifham.com/sbis-jualah-di-bank-syariah/ , pada 3 November 2014)
[6] Melva, Gulo. “Wadiah vs Ju’alah pada sertifikat Bank Indonesia Syariah” (Diakses dari ; http://www.scribd.com/doc/202449748/WADIAH-VS-JU-ALAH-PADA-SERTIFIKAT-BANK-INDONESIA-SYARIAH#download,  pada 3 November 2014)
[7] Brown, Ellen (Producer).2008. Web of Debt
[8] Euis. Amalia “ Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer

0 komentar:

Posting Komentar

 
Aysan © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top