Kuliah Kerja Nyata
Bagaimanapun, dilihat dari sudut pandang apapun, saya tidak setuju dengan program kuliah kerja nyata atau biasa disingkat dengan sebutan KKN. Toh program yang sudah berjalan bertahun-tahun  tersebut tidak mampu merubah desa-desa ke arah yang lebih baik lagi. Ditambah lagi program KKN ini benar–benar menguras tenaga, menghabiskan waktu, dan meludeskan uang. Bahkan konon katanya, katanya, entah kata siapa, mahasiswa yang sehabis mengabdi di program tersebut akan lebih sosialis lagi jiwanya, peka akan kondisi masyarakat sekitar, membatin terhadap ketidakadilan. Halaaah itu cuma “katanya”. Pekik saya dalam hati. Meringkuk tanpa daya, dikerubungi kekesalan.
Seharusnya, saya sebagai mahasiswa perbankan syariah, yang diwajibkan adalah program magang atau kuliah kerja lapangan di bank – bank ternama atau di perusahaan-perusahaan besar, yang bisa meningkatkan pengetahuan dan menambah pengalaman akan dunia industri perbankan sebenar–benarnya, yang tentu akan lebih berguna nantinya pada saat saya lulus. Ini malah program kuliah kerja nyata yang diwajibkan, yang jelas-jelas tak berhubungan dengan dunia keilmuan yang sedang saya tekuni. Ah sudahlah. Percuma mengeluh, toh keluhan saya tak bermanfaat dan juga tak mampu merubah keadaan. Memang sulit, tapi saya mencoba sebisa mungkin untuk pasrah, mengakrabkan diri dengan keadaan.
Meski hati masih dongkol, saya tetap mempersiapkan diri untuk menyongsong kegiatan kuliah kerja nyata yang sebentar lagi menyapa. Kebetulan saya memiliki banyak teman lintas jurusan yang memiliki karakter yang sangat baik dan sangat berguna apabila saya jadikan rekan sekelompok. Pada saat itu, saya masih menganggap peraturan tentang KKN yang lama masih berlaku, belum mengetahui akan adanya perubahan peraturan KKN. Perlu diketahui bahwa dalam peraturan lama, mahasiswa diberi kebebasan untuk membentuk kelompok KKN sendiri, yang minimal anggotanya berjumlah dua belas orang yang harus berasal dari enam fakultas, dan maksimal jumlah anggota perkelompoknya adalah lima belas orang.
Tak perlu waktu lama, hanya dalam kurun waktu seminggu, saya berhasil mengumpulkan dua belas orang yang berasal dari enam fakultas yang berbeda. Saya dan sebelas rekan lainnya itu merupakan sahabat baik, saling mengenal satu sama lain. Tentu itu menjadi keunggulan tersendiri. Terlebih setiap anggota mempunyai karakter dan keunggulan diri yang berbeda-beda. Maka tidak heran, saya sangat optimis dan tak sabar menghadapi kegiatan KKN.
Selang beberapa minggu kemudian, kami sepakat melakukan rapat perdana untuk membahas segala persiapan yang harus dilengkapi, khususnya persiapan dalam pembuatan program kerja dan pencarian dana. Hasil rapat tersebut sungguh tak terduga. Pada saat itu, saya benar–benar bersyukur punya rekan yang bisa diandalkan. Kejamnya program KKN, sepertinya sangat mudah untuk dijinakkan. Tapi perasaan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba tersiar kabar yang sangat tidak mengenakkan telinga ketika mendengarnya, memuakkan isi kepala ketika kabar tersebut memasuki rongga-rongga pikiran. Peraturan lama KKN digantikan dengan peraturan baru. Peraturan baru yang memupuskan kesenangan, membangkitkan kembali kekesalan yang telah lama terpendam, yang terkunci dan tersegel dalam ruang kegelapan.  Sudah kehilangan kata-kata keluh kesah, juga tak mau berlarut–larut dalam kekesalan, saya kembali berusaha keras untuk kembali menerima kenyataan. Menelan pahitnya pil KKN. Bersahabat dengan keadaan. Pasrah.

Sehari Sebelum Techcnical Meeting
Tepat sehari sebelum adanya pertemuan technical meeting KKN sekaligus pembagian teman kelompok KKN, grup kelas perbankan syariah, khususnya grup AMPAS sangat riuh gemuruh sekali. Hampir seluruh anggota dari grup tersebut muncul bersuara, bahkan mahluk-mahluk yang selama ini sedang bertapa, berdiam diri, tak pernah menampakkan kehadirannya selama grup whatsapp tersebut dibuat, keluar berhamburan menyongsong obrolan-obrolan semu tentang pengumuman KKN. Beberapa ada yang bertanya penasaran siapakah yang kelak menjadi teman kelompoknya, ada yang menjawab seadanya, sok tahu, seenak jidatnya, ada pula yang hanya menimpali, ada yang menyebarkan isu beginilah begitulah. Saya sendiri termasuk orang yang cuek bebek terhadap urusan tersebut. Siapapun yang akan menjadi rekan saya nanti, entah itu dari fakultas mana, jurusan apa, karakternya seperti apa, saya tak mempermasalahkannya. Bagi saya sendiri, selama mereka bisa diajak kerjasama, atau minimal tidak menghambat berbagai program KKN nanti, saya akan santai saja menyikapinya.

Sekumpulan Mahluk 202
Hari itu, hari yang mahasiswa tunggu-tunggu, idam-idamkan penuh harap cemas. Ada yang berharap dapat rekan tampan yang mapan atau cantik nan jelita dan segala macam tetek bengek lainnya. Ada juga yang biasa saja menyikapinya, bahkan lupa jika hari itu adalah hari pengumuman KKN.
Ya. Hari itu adalah hari pengumuman seluruh informasi tentang KKN, termasuk informasi pembagian kelompok KKN.
Setelah sekumpulan acara pembuka selesai dilaksanakan, akhirnya tiba juga waktu pengumuman. Saya dimasukkan ke dalam kelompok 202, yang terdiri dari 7 orang wanita dan 4 pria. Sedih memang, tidak ada satu pun rekan dari kelompok KKN sebelumnya yang menjadi anggota kelompok 202. Tapi apa daya, semuanya sudah kehendak Allah.
Dari semua anggota kelompok 202, hanya satu orang saja yang saya kenal. Dia adalah Romaza, rekan saya sewaktu tinggal di Mahad Aly UIN Jakarta selama dua tahun. Selebihnya, saya tidak mengenali mereka.
Ada Panji, mahasiswa Akuntansi, yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumah saya. Ada Vina, mahasiswi yang sefakultas dengan saya, dia sangat ahli membuat makanan lezat dengan segala macam ramuan-ramuan andalannya. Ada Nuraini, mahasiswi yang cukup mahir dalam berkosakata arab. Ada Devina yang berasal dari FEB. Rekanita yang cukup dapat saya handalkan dalam menyukseskan berbagai acara atau kegiatan yang melibatkan saya dengannya. Ada Fajar, mahasiswa Fakultas Ushuludin yang merupakan ujung tombak dari kelompok KKN 202. Beliau sangat cakap dalam menjalin relasi hubungan dengan pihak-pihak birokrasi, seperti KEMENAG, Pemda dan Aparatur lainnya. Ada Ratna, mahasiswi hubungan internasional, yang paling aktif meskipun wajahnya sangat kalem pendiam. Rika, mahasiswi yang berasal dari fakultas yang sama dengan Fajar. Beliau sangat rajin dalam mengelola kebutuhan rumah dan dapur, sampai-sampai julukan ibu dapur disemayamkan pada gelarnya. Ada Wiwi, mahasiswi yang berperan sebagai bendahara di kelompok 202. Kameranya sangat berguna bagi saya untuk mengabadikan berbagai macam kegiatan. Terakhir, ada Shaida, mahasiswi dari Fakultas SAINTEK, yang sangat ahli dalam berbahasa inggris. Beliau merupakan guru bahasa inggris saya selama di desa Cikuya. Beliau juga yang paling sering mengirimkan stock makanan dan cemilan.
Dari pertemuan perdana tersebut, ada yang menarik ketika saya mengetahui ada mahasiswa asal Papua dan mahasiswi asal Filipina di kelompok 202. Sempat saya berpikir yang tidak-tidak dan aneh-aneh tentang mereka.

Simalakama Nama “Developer
Beberapa minggu kemudian, kami mengadakan rapat perdana dan menyepakati untuk menamakan kelompok 202 dengan sebutan Developer. Jika diterjemahkan, artinya adalah pengembang atau pembangun. Saya sendiri termasuk yang tidak menyetujui dengan nama kelompok tersebut. Saya merasa terbebani. Bagi saya, nama pengembang atau pembangun, menunjukkan kesombongan, seolah-olah kami menganggap desa yang di sana masih belum berkembang atau terbangun dengan baik, padahal belum tentu. Atau jika dilihat dari sudut pandang lainnya, makna kata tersebut menunjukkan bahwa kami adalah sekumpulan manusia yang memiliki berbagai keahlian dan kemampuan yang mampu mengembangkan dan membangun desa tempat KKN nanti. Inilah awal di mana saya merasa seperti dihempaskan sekencang-kencangnya, terjerumus dalam lembah pengabdian. Dihadapkan pada kondisi realita yang membutuhkan peran manusia sebenar-benarnya. Manusia dengan status “mahasiswa” yang melekat erat dengan jubah pengabdiannya.

Menuju Cikuya
Perjalanan memulai pengabdian tidaklah semudah yang dibayangkan. Rintangan-rintangan tampaknya sangat siap untuk menghadang. Benar saja, untuk melaksanakan survei, banyak sekali kesulitan yang menerpa. Hampir saja kelompok saya terpecah belah karena konflik internal yang seharusnya tidak ada sedari awal. Untungnya, berkat komitmen dan kesolidan kelompok, konflik tersebut dapat diatasi dengan baik. Namun, rintangan tidak hanya datang dari kondisi internal, rintangan tersebut juga datang dari kondisi eksternal yang tingkat kesulitannya juga hampir sama.
Saat itu, saya dan kelima rekan saya lainnya, yang sedang melaksanakan ibadah puasa, harus menembus kemacetan kota dan menempuh perjalanan yang cukup jauh di bawah panasnya terik sinar matahari hanya untuk mengais-ngais informasi yang diperlukan dalam membuat rencana KKN dan juga untuk mencari rumah yang nantinya akan dipergunakan sebagai tempat tinggal sekaligus pusat pengabdian kami. Alhamdulillah, semua hal yang kami perlukan didapat dengan segala kemudahan. Tentu, perjuangan yang gigih selalu membuahkan hasil yang memuaskan. Dibalik kesulitan senantiasa terdapat kemudahan.

Kamar Mandi
Hal yang paling menakutkan bagi saya dalam pelaksanaan KKN adalah kenyataan bahwa hanya terdapat satu kamar mandi di rumah yang akan saya tinggali nanti. Padahal, terdapat 7 orang wanita dan 4 pria yang akan tinggal di rumah tersebut. Tak terbayangkan bagaimana ribetnya nanti. Ketika ingin ke kamar mandi, harus antri terlebih dahulu. Ditambah status saya sebagai seorang laki-laki, yang nantinya akan dijadikan dasar dalil pembenaran oleh para wanita tersebut untuk membuat saya mengalah untuk segera menepi di tengah barisan antrian apabila mereka ingin ke kamar mandi tapi malas untuk mengantri. Ah ribet memang.

Selayang Kasih dari Mahluk Ghaib
Saya dan Panji yang mengendarai motor tiba di Cikuya tepat beberapa menit sebelum menjelang Isya. Tentu saya dan Panji langsung melaksanakan sholat maghrib yang kemudian disusul dengan sholat Isya karena beberapa saat kemudian, selesainya melaksanakan sholat Maghrib,sayup-sayup kumandang adzan Isya telah terdengar.
Saya dan Panji bukanlah orang pertama yang tiba di rumah tersebut. Sudah ada beberapa orang yang telah tiba di sana.  Hanya Devina dan Shaids yang belum hadir.Mengingat Idul Fitri masih terasa suasananya, saya dan teman lainnya pun menyempatkan diri untuk saling bermaaf-maafan, yang kemudian dilanjutkan dengan bercengkerama, menceritakan kepribadian diri masing-masing.  Tak lupa pula kami saling memberi makanan khas daerah kelahiran, yang merupakan sisa-sisa makanan lebaran. Kedatangan Devina dan Shaids menambah hangatnya suasana, penuh canda tawa. Terlebih kedatangan Shaids diiringi dengan banyaknya makanan cemilan. Obrolan berlanjut hingga larut malam.
Ah tampaknya perjalanan unik akan segera dimulai malam ini. Tinggal bersama 10 orang yang baru dikenal, bahkan masih ada yang belum saya kenal, dengan karakter unik ajaib yang jelas tak sama. Pasti saya akan mengalami banyak konflik tak bersua, yang akan menjadikan hari-hari penuh peristiwa yang istimewa.
Raut-raut muka kelelahan tampak mulai muncul dan menyerang seluruh anggota seisi rumah. Semakin larut, suasana semakin hening. Di luar rumah, keadaan cukup mencekam. Tak ada satupun warga desa yang terlihat. Semakin mencekam ketika Pak Jaro dan pemilik rumah yang hadir menyambut kami telah pulang.
Saat itu, tidak ada hal apapun yang aneh, bahkan saya dan lainnya terlarut dalam obrolan-obrolan santai. Tak terpikirkan akan terjadi sesuatu yang tak pernah terpikirkan sejak awal.
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba saya dan lainnya dikejutkan oleh Panji dan ibu Vina yang tiba-tiba bertingkah aneh tak sadar diri. Tampaknya ada sesuatu yang janggal. Benar saja, mereka ternyata kesurupan, diganggu olehgangguan-gangguan dari mahluk tak kentara mata.Tentu, kejadian itu membuat saya dan lainnya menjadi panik.  Canda ria yang sedari tadi mengiringi, sekejap sirna.
Dengan cepat pula banyak warga yang datang membantu. Sebagian dari mereka keheranan. Si pemilik rumah dan Pak Jaro dengan sigap dan cekatan langsung membawakan seorang warga desa yang dianggap mempunyai kemampuan untuk menghilangkan gangguan-gangguan tersebut. Alhamdulillah. Tak lama berselang, Panji dan Ibu Vina kembali sadar.
Meski demikian, kejadian tersebut tak lantas menghilangkan kepanikan dan ketakutan kami. Bahkan, akibat kejadian tersebut banyak teman saya yang berpikir aneh-aneh cenderung berburuk sangka. Tentu, saya sangat menyayangkan sikap mereka. Saya benar–benar tak habis pikir kenapa mereka bisa seperti itu sikapnya. Bukannya menenangkan diri dengan berbagai pikiran–pikiran positif, mereka malah memperkeruh keadaan dengan berburuk sangka tanpa dasar.Tapi pada akhirnya mereka menyadari apa yang baru saja dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Awal hikmah dan pelajaran yang baik yang saya dapatkan.
Segera saya telepon bapak saya dan menceritakan kejadian unik tersebut dengan didramatisir sedikit oleh saya untuk membuat bapak saya antusias mendengarkan. Sehingga beliau berkeinginan untuk membantu saya mengatasi tersebut. Maklum, di daerah tempat saya tinggal, bapak saya dianggap memiliki kemampuan supranatural yang mampu menyingkirkan gangguan-gangguan mahluk tak kentara mata. Namun, bukannya membantu, bapak saya hanya terkekeh-kekeh mentertawakan. Beliau malah meledeki saya. Katanya, itu adalah sambutan selayang kasih dari mereka. Toh, mereka juga berkeinginan untuk menyambut dan menunjukkan keberadaannnya kepada saya dan teman-teman. Saya hanya mengiyakan dengan agak kesal. Tapi sehabis itu, tak ada sedikitpun rasa takut yang berani lagi hinggap pada diri saya. Sungguh sangat menarik sambutan dari mereka, meski sambutannya cukup menyeramkan.

Silaturahmi
Keesokan harinya, saya dan teman lainnya segera melakukan pendekatan dengan bersilaturahmi kepada tetangga sekitar rumah. Bertegur sapa yang terkadang diselingi oleh canda tawa. Bagian yang paling seru adalah ketika bersilaturahmi dengan gerombolan anak-anak Cikuya. Mereka sangat ramah dan terbuka. Saya sangat senang sekali mengetahui fakta tersebut. Diharapkan dengan pendekatan tersebut dapat terjalin ikatan emosional yang baik, sehingga keberadaan kami di sana dan semua program kegiatan yang akan kami laksanakan didukung penuh oleh mereka.

Pejuang Cilik
Malam itu seperti biasanya, dingin, sejuk dan riuh ramai oleh kehadiran para anak-anak Cikuya, yang dengan semangat tingginya, menunggu setia di depan rumah, menunggu panggilan dari saya untuk memasuki ruang sederhana, namun nyaman, untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Eurofia belajar mereka sangat luar biasa. Tapi tidak untuk malam itu, banyak sekali murid-murid saya yang tidak hadir, hanya terdapat tiga orang anak yang dengan polosnya duduk sambil memperlihatkan senyum ikhlasnya. Tanda sudah tak sabar untuk belajar.
Ketiganya sangat antusias menjawab pertanyaan saya yang keheranan mengapa hanya sedikit yang datang. Seperti yang sudah saya tebak, mereka tidak hadir kebanyakan dengan alasan mengada-ada. Tak apalah, yang penting bagi saya, berapa pun murid yang datang, saya akan tetap memberikan pengajaran dan pembinaan. Membekalkan diri mereka dengan ilmu, memupuk harapan mereka dengan membangun optimisme, menerbangkan mereka hingga mampu menembus cakrawala, membuka gerbang langit dan menggapai singgasana mimpi, kemudian kembali saya  hempaskan mereka dengan menyadarkan batin mereka akan kenyataan kondisi orangtua dan desa tercintanya.

Pengabdian
Hari demi hari berlalu, kegiatan demi kegiatan telah dilaksanakan. Mulai dari kegiatan pembukan di kantor desa, mengajar bahasa inggris di SDN 3 Cikuya, mengajar ilmu jurnalistik di SMPN 2 Solear, membimbing dan memberi seminar motivasi kepada anak-anak Cikuya di rumah belajar DEVELOPER, menonton bersama, dan seminar narkoba. Semuanya dijalankan penuh dengan semangat pengabdian. Dari keseluruhan kegiatan yang telah kami laksanakan, ada satu kegiatan yang tak terlupakan, yaitu kegiatan ramah tamah yang diselingi makan-makan sebagai penutup acara kegiatan kami di Desa Cikuya. Hampir seluruh penduduk hadir membanjiri halaman rumah kami. Berhamburan riuh gemuruh penuh keantusiasan. Meskipun malam itu diguyur hujan, mereka tak sedikitpun berkeinginan untuk beranjak dari tempat duduknya. Bahkan ada seorang ibu yang membawa seluruh anak-anaknya, termasuk anaknya yang masih belum genap satu tahun.
Para pemuda yang biasanya segan menghampiri, pada saat itu, mereka membaur, larut dalam kemeriahan acara yang sederhana itu. Para pemudi yang biasanya tak berani menampakkan diri, muncul ke permukaan, tentu dengan wajah yang dipenuhi solekan. Tak hanya warga desa yang menghadiri, para guru di tempat kami biasa mengajar pun hadir. Mereka juga membawa anggota keluarganya. Semuanya bersatu padu, bersendu gurau dalam keharmonisan. Luar biasa memang sambutan penghantar pulangdari mereka.
Di akhir kegiatan tersebut, tanpa direncanakan, tiba-tiba banyak sekali warga yang menyerbu saya dan teman-teman untuk sekedar bersalam-salaman, bahkan ada yang minta untuk foto bersama. Di tengah-tengah hiruk pikuk suasana, tiba-tiba segerombolan remaja putra dan putri menghampiri saya dengan wajah yang diliputi senyum kebahagiaan. Mereka serempak menyapa saya menggunakan bahasa Inggris. “Thankyou for everything Kak Hasan.” sambut mereka sambil tertawa tersipu malu. Lucunya, mereka sempat saling menyalahkan akan pengucapan bahasa Inggris yang kurang tepat.  Mereka adalah murid bahasa Inggris saya yang tiap malam datang dengan semangat belajar yang luar biasa. Saya hanya mampu membalas mereka dengan memberi kehangatan salaman dan sebuah senyum tulus penuh kerinduan, juga beberapa foto ala kadarnya.  Pada saat itulah, batin dan jiwa saya sungguh terasa menggelegar. Rasanya, penyesalan tak mampu lagi saya hindari. Sungguh menyesal saya, saat saya mengalah dengan kemalasan, dan mengajarkan mereka hanya sebatas memenuhi kewajiban, bukan dikarenakan sebuah panggilan hati nurani.Ternyata kegiatan mengajar yang saya lakukan benar-benar memberikan saya kesadaran akan makna sebuah pengabdian.

Sebongkah Harapan untuk Desa Cikuya
Mengabdi selama tiga puluh hari, melaluikisah-kisah menggelitik dan menggugah di Desa Cikuya membuat saya mampu merajut begitu banyak hikmah dan pelajaran. Menyadarkan saya bahwa saat ini bukanlah waktunya untuk mengeluh atau menghujat siapapun akan kondisi bangsa. Lebih baik menyalakan lilin daripada terus menerus mengutuki kegelapan. Bertindak sekecil apapun yang ditujukan untuk mengabdi, merupakan tindakan yang sangat besar untuk sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
Hal besar yang telah saya lakukan adalah saat saya mampu meyakinkan masyarakat desa, bahwa pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Meski bukan satu-satunya cara, pendidikan merupakan hal yang paling penting dan harus diprioritaskan sebagai bekal dalam menghadapi cepatnya perubahan kehidupan di era modern seperti ini.
Saya berhasil menanamkan rasa cinta pendidikan kepada anak-anak dengan mengiming-imingi berbagai kenikmatan hidup dunia dan kesejahteraan kehidupan akhirat (faktor penarik). Hanya  orang yang berilmulah yang mampu menggapai keduanya. Selain itu, saya juga menyadarkan mereka akan kondisi orangtua dan desanya (faktor pendorong).
Di akhir kegiatan pun saya berhasil meyakinkan dan membuat para orangtua Cikuya berjanji untuk senantiasa mendukung penuh anak-anaknya untuk meningkatkan pendidikan mereka. Memberitahu bahwa tugas kami hanyalah untuk menyulut semangat belajar anak-anak mereka. Tugas mereka adalah mereka harus mampu mempertahankan dan meningkatkan semangat belajar anak-anak mereka paska kepulangan kami nanti.
Akhirnya saya menyadari mengapa program KKN ini tetap diberlakukan. Sungguh saya sangat menyesal mempunyai pikiran-pikiran buruk terhadap para pembuat kebijakan KKN. Saya sadar bahwa tujuan utama dari program KKN ini bukanlah untuk membuat desa-desa menjadi lebih baik lagi, itu hanyalah tujuan pelengkap. Tujuan utamanya adalah menyadarkan mahasiswa kota yang dipenuhi dengan kesombongan status yang melekat pada dirinya. Menyadarkan mahasiswa bahwa seberapa tinggi ilmu yang mereka miliki dan seberapa tinggi derajat jabatan organisasi kampus yang mereka dapati, tidaklah bermakna jika tidak diamalkan dan ditujukan untuk memperbaiki atau sekedar mengatasi permasalahan-permasalahan masyarakat.
Semakin kuat keinginan saya untuk menuntut ilmu lebih dalam lagi. Melanjutkan kuliah hingga jenjang yang paling tinggi. Untuk membuat racikan formula khusus, formula manajemen sosial yang didasari dengan dasar keilmuan, keagamaan dan budaya adat masyarakat Indonesia asli, sehingga mampu memberikan kehidupan yang lebih baik lagi bagi mereka dan mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa Indonesia. Seperti pepatah Minang yang berbunyi:

“Anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipertenggangkan, jaga kampung jangan binasa, jaga dengan serta adatnya.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Aysan © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top