Kuliah
Kerja Nyata
Bagaimanapun,
dilihat dari sudut pandang apapun, saya tidak setuju dengan program kuliah
kerja nyata atau biasa disingkat dengan sebutan KKN. Toh program yang sudah berjalan bertahun-tahun tersebut tidak mampu merubah desa-desa ke
arah yang lebih baik lagi. Ditambah lagi program KKN ini benar–benar menguras
tenaga, menghabiskan waktu, dan meludeskan uang. Bahkan konon katanya, katanya,
entah kata siapa, mahasiswa yang sehabis mengabdi di program tersebut akan
lebih sosialis lagi jiwanya, peka akan kondisi masyarakat sekitar, membatin
terhadap ketidakadilan. Halaaah itu
cuma “katanya”. Pekik saya dalam hati. Meringkuk tanpa daya, dikerubungi
kekesalan.
Seharusnya, saya
sebagai mahasiswa perbankan syariah, yang diwajibkan adalah program magang atau
kuliah kerja lapangan di bank – bank ternama atau di perusahaan-perusahaan
besar, yang bisa meningkatkan pengetahuan dan menambah pengalaman akan dunia
industri perbankan sebenar–benarnya, yang tentu akan lebih berguna nantinya
pada saat saya lulus. Ini malah program kuliah kerja nyata yang diwajibkan,
yang jelas-jelas tak berhubungan dengan dunia keilmuan yang sedang saya tekuni.
Ah sudahlah. Percuma mengeluh, toh keluhan saya tak bermanfaat dan juga
tak mampu merubah keadaan. Memang sulit, tapi saya mencoba sebisa mungkin untuk
pasrah, mengakrabkan diri dengan keadaan.
Meski hati masih
dongkol, saya tetap mempersiapkan diri untuk menyongsong kegiatan kuliah kerja
nyata yang sebentar lagi menyapa. Kebetulan saya memiliki banyak teman lintas
jurusan yang memiliki karakter yang sangat baik dan sangat berguna apabila saya
jadikan rekan sekelompok. Pada saat itu, saya masih menganggap peraturan
tentang KKN yang lama masih berlaku, belum mengetahui akan adanya perubahan
peraturan KKN. Perlu diketahui bahwa dalam peraturan lama, mahasiswa diberi
kebebasan untuk membentuk kelompok KKN sendiri, yang minimal anggotanya
berjumlah dua belas orang yang harus berasal dari enam fakultas, dan maksimal
jumlah anggota perkelompoknya adalah lima belas orang.
Tak perlu waktu
lama, hanya dalam kurun waktu seminggu, saya berhasil mengumpulkan dua belas
orang yang berasal dari enam fakultas yang berbeda. Saya dan sebelas rekan
lainnya itu merupakan sahabat baik, saling mengenal satu sama lain. Tentu itu
menjadi keunggulan tersendiri. Terlebih setiap anggota mempunyai karakter dan
keunggulan diri yang berbeda-beda. Maka tidak heran, saya sangat optimis dan
tak sabar menghadapi kegiatan KKN.
Selang beberapa
minggu kemudian, kami sepakat melakukan rapat perdana untuk membahas segala
persiapan yang harus dilengkapi, khususnya persiapan dalam pembuatan program
kerja dan pencarian dana. Hasil rapat tersebut sungguh tak terduga. Pada saat
itu, saya benar–benar bersyukur punya rekan yang bisa diandalkan. Kejamnya
program KKN, sepertinya sangat mudah untuk dijinakkan. Tapi perasaan itu tak
berlangsung lama. Tiba-tiba tersiar kabar yang sangat tidak mengenakkan telinga
ketika mendengarnya, memuakkan isi kepala ketika kabar tersebut memasuki
rongga-rongga pikiran. Peraturan lama KKN digantikan dengan peraturan baru.
Peraturan baru yang memupuskan kesenangan, membangkitkan kembali kekesalan yang
telah lama terpendam, yang terkunci dan tersegel dalam ruang kegelapan. Sudah kehilangan kata-kata keluh kesah, juga
tak mau berlarut–larut dalam kekesalan, saya kembali berusaha keras untuk
kembali menerima kenyataan. Menelan pahitnya pil KKN. Bersahabat dengan
keadaan. Pasrah.
Sehari
Sebelum Techcnical Meeting
Tepat
sehari sebelum adanya pertemuan technical
meeting KKN sekaligus pembagian teman kelompok KKN, grup kelas perbankan
syariah, khususnya grup AMPAS sangat riuh gemuruh sekali. Hampir seluruh
anggota dari grup tersebut muncul bersuara, bahkan mahluk-mahluk yang selama
ini sedang bertapa, berdiam diri, tak pernah menampakkan kehadirannya selama
grup whatsapp tersebut dibuat, keluar
berhamburan menyongsong obrolan-obrolan semu tentang pengumuman KKN. Beberapa
ada yang bertanya penasaran siapakah yang kelak menjadi teman kelompoknya, ada
yang menjawab seadanya, sok tahu, seenak jidatnya, ada pula yang hanya
menimpali, ada yang menyebarkan isu beginilah begitulah. Saya sendiri termasuk
orang yang cuek bebek terhadap urusan
tersebut. Siapapun yang akan menjadi rekan saya nanti, entah itu dari fakultas
mana, jurusan apa, karakternya seperti apa, saya tak mempermasalahkannya. Bagi
saya sendiri, selama mereka bisa diajak kerjasama, atau minimal tidak
menghambat berbagai program KKN nanti, saya akan santai saja menyikapinya.
Sekumpulan
Mahluk 202
Hari itu, hari yang
mahasiswa tunggu-tunggu, idam-idamkan penuh harap cemas. Ada yang berharap
dapat rekan tampan yang mapan atau cantik nan jelita dan segala macam tetek bengek lainnya. Ada juga yang
biasa saja menyikapinya, bahkan lupa jika hari itu adalah hari pengumuman KKN.
Ya. Hari itu adalah hari
pengumuman seluruh informasi tentang KKN, termasuk informasi pembagian kelompok
KKN.
Setelah sekumpulan
acara pembuka selesai dilaksanakan, akhirnya tiba juga waktu pengumuman. Saya
dimasukkan ke dalam kelompok 202, yang terdiri dari 7 orang wanita dan 4 pria.
Sedih memang, tidak ada satu pun rekan dari kelompok KKN sebelumnya yang
menjadi anggota kelompok 202. Tapi apa daya, semuanya sudah kehendak Allah.
Dari semua anggota
kelompok 202, hanya satu orang saja yang saya kenal. Dia adalah Romaza, rekan
saya sewaktu tinggal di Mahad Aly UIN Jakarta selama dua tahun. Selebihnya,
saya tidak mengenali mereka.
Ada Panji,
mahasiswa Akuntansi, yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumah saya. Ada
Vina, mahasiswi yang sefakultas dengan saya, dia sangat ahli membuat makanan
lezat dengan segala macam ramuan-ramuan andalannya. Ada Nuraini, mahasiswi yang
cukup mahir dalam berkosakata arab. Ada Devina yang berasal dari FEB. Rekanita
yang cukup dapat saya handalkan dalam menyukseskan berbagai acara atau kegiatan
yang melibatkan saya dengannya. Ada Fajar, mahasiswa Fakultas Ushuludin yang
merupakan ujung tombak dari kelompok KKN 202. Beliau sangat cakap dalam
menjalin relasi hubungan dengan pihak-pihak birokrasi, seperti KEMENAG, Pemda
dan Aparatur lainnya. Ada Ratna, mahasiswi hubungan internasional, yang paling
aktif meskipun wajahnya sangat kalem pendiam. Rika, mahasiswi yang berasal dari
fakultas yang sama dengan Fajar. Beliau sangat rajin dalam mengelola kebutuhan
rumah dan dapur, sampai-sampai julukan ibu dapur disemayamkan pada gelarnya.
Ada Wiwi, mahasiswi yang berperan sebagai bendahara di kelompok 202. Kameranya
sangat berguna bagi saya untuk mengabadikan berbagai macam kegiatan. Terakhir,
ada Shaida, mahasiswi dari Fakultas SAINTEK, yang sangat ahli dalam berbahasa
inggris. Beliau merupakan guru bahasa inggris saya selama di desa Cikuya.
Beliau juga yang paling sering mengirimkan stock
makanan dan cemilan.
Dari pertemuan
perdana tersebut, ada yang menarik ketika saya mengetahui ada mahasiswa asal
Papua dan mahasiswi asal Filipina di kelompok 202. Sempat saya berpikir yang
tidak-tidak dan aneh-aneh tentang mereka.
Simalakama
Nama “Developer”
Beberapa minggu
kemudian, kami mengadakan rapat perdana dan menyepakati untuk menamakan kelompok
202 dengan sebutan Developer. Jika diterjemahkan, artinya adalah pengembang
atau pembangun. Saya sendiri termasuk yang tidak menyetujui dengan nama
kelompok tersebut. Saya merasa terbebani. Bagi saya, nama pengembang atau
pembangun, menunjukkan kesombongan, seolah-olah kami menganggap desa yang di
sana masih belum berkembang atau terbangun dengan baik, padahal belum tentu.
Atau jika dilihat dari sudut pandang lainnya, makna kata tersebut menunjukkan
bahwa kami adalah sekumpulan manusia yang memiliki berbagai keahlian dan
kemampuan yang mampu mengembangkan dan membangun desa tempat KKN nanti. Inilah
awal di mana saya merasa seperti dihempaskan sekencang-kencangnya, terjerumus
dalam lembah pengabdian. Dihadapkan pada kondisi realita yang membutuhkan peran
manusia sebenar-benarnya. Manusia dengan status “mahasiswa” yang melekat erat
dengan jubah pengabdiannya.
Menuju
Cikuya
Perjalanan memulai
pengabdian tidaklah semudah yang dibayangkan. Rintangan-rintangan tampaknya
sangat siap untuk menghadang. Benar saja, untuk melaksanakan survei, banyak
sekali kesulitan yang menerpa. Hampir saja kelompok saya terpecah belah karena
konflik internal yang seharusnya tidak ada sedari awal. Untungnya, berkat
komitmen dan kesolidan kelompok, konflik tersebut dapat diatasi dengan baik.
Namun, rintangan tidak hanya datang dari kondisi internal, rintangan tersebut
juga datang dari kondisi eksternal yang tingkat kesulitannya juga hampir sama.
Saat itu, saya dan
kelima rekan saya lainnya, yang sedang melaksanakan ibadah puasa, harus
menembus kemacetan kota dan menempuh perjalanan yang cukup jauh di bawah
panasnya terik sinar matahari hanya untuk mengais-ngais informasi
yang diperlukan dalam membuat rencana KKN dan juga untuk mencari rumah yang
nantinya akan dipergunakan sebagai tempat tinggal sekaligus pusat pengabdian
kami. Alhamdulillah, semua hal yang
kami perlukan didapat dengan segala kemudahan. Tentu, perjuangan yang gigih
selalu membuahkan hasil yang memuaskan. Dibalik kesulitan senantiasa terdapat
kemudahan.
Kamar
Mandi
Hal yang paling
menakutkan bagi saya dalam pelaksanaan KKN adalah kenyataan bahwa hanya
terdapat satu kamar mandi di rumah yang akan saya tinggali nanti. Padahal,
terdapat 7 orang wanita dan 4 pria yang akan tinggal di rumah tersebut. Tak
terbayangkan bagaimana ribetnya nanti. Ketika ingin ke kamar mandi, harus antri
terlebih dahulu. Ditambah status saya sebagai seorang laki-laki, yang nantinya
akan dijadikan dasar dalil pembenaran oleh para wanita tersebut untuk membuat
saya mengalah untuk segera menepi di tengah barisan antrian apabila mereka
ingin ke kamar mandi tapi malas untuk mengantri. Ah ribet memang.
Selayang
Kasih dari Mahluk Ghaib
Saya dan Panji yang
mengendarai motor tiba di Cikuya tepat beberapa menit sebelum menjelang Isya.
Tentu saya dan Panji langsung melaksanakan sholat maghrib yang kemudian disusul
dengan sholat Isya karena beberapa saat kemudian, selesainya melaksanakan sholat
Maghrib,sayup-sayup kumandang adzan Isya telah terdengar.
Saya dan Panji
bukanlah orang pertama yang tiba di rumah tersebut. Sudah ada beberapa orang
yang telah tiba di sana. Hanya Devina
dan Shaids yang belum hadir.Mengingat Idul Fitri masih terasa suasananya, saya
dan teman lainnya pun menyempatkan diri untuk saling bermaaf-maafan, yang
kemudian dilanjutkan dengan bercengkerama, menceritakan kepribadian diri
masing-masing. Tak lupa pula kami saling
memberi makanan khas daerah kelahiran, yang merupakan sisa-sisa makanan
lebaran. Kedatangan Devina dan Shaids menambah hangatnya suasana, penuh canda
tawa. Terlebih kedatangan Shaids diiringi dengan banyaknya makanan cemilan.
Obrolan berlanjut hingga larut malam.
Ah tampaknya perjalanan unik
akan segera dimulai malam ini. Tinggal bersama 10 orang yang baru dikenal,
bahkan masih ada yang belum saya kenal, dengan karakter unik ajaib yang jelas
tak sama. Pasti saya akan mengalami banyak konflik tak bersua, yang akan
menjadikan hari-hari penuh peristiwa yang istimewa.
Raut-raut muka
kelelahan tampak mulai muncul dan menyerang seluruh anggota seisi rumah.
Semakin larut, suasana semakin hening. Di luar rumah, keadaan cukup mencekam.
Tak ada satupun warga desa yang terlihat. Semakin mencekam ketika Pak Jaro dan
pemilik rumah yang hadir menyambut kami telah pulang.
Saat itu, tidak ada
hal apapun yang aneh, bahkan saya dan lainnya terlarut dalam obrolan-obrolan
santai. Tak terpikirkan akan terjadi sesuatu yang tak pernah terpikirkan sejak
awal.
Di tengah asyiknya
bercengkerama, tiba-tiba saya dan lainnya dikejutkan oleh Panji dan ibu Vina
yang tiba-tiba bertingkah aneh tak sadar diri. Tampaknya ada sesuatu yang
janggal. Benar saja, mereka ternyata kesurupan, diganggu olehgangguan-gangguan
dari mahluk tak kentara mata.Tentu, kejadian itu membuat saya dan lainnya
menjadi panik. Canda ria yang sedari
tadi mengiringi, sekejap sirna.
Dengan cepat pula
banyak warga yang datang membantu. Sebagian dari mereka keheranan. Si pemilik
rumah dan Pak Jaro dengan sigap dan cekatan langsung membawakan seorang warga
desa yang dianggap mempunyai kemampuan untuk menghilangkan gangguan-gangguan
tersebut. Alhamdulillah. Tak lama
berselang, Panji dan Ibu Vina kembali sadar.
Meski demikian,
kejadian tersebut tak lantas menghilangkan kepanikan dan ketakutan kami.
Bahkan, akibat kejadian tersebut banyak teman saya yang berpikir aneh-aneh
cenderung berburuk sangka. Tentu, saya sangat menyayangkan sikap mereka. Saya
benar–benar tak habis pikir kenapa mereka bisa seperti itu sikapnya. Bukannya menenangkan
diri dengan berbagai pikiran–pikiran positif, mereka malah memperkeruh keadaan
dengan berburuk sangka tanpa dasar.Tapi pada akhirnya mereka menyadari apa yang
baru saja dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Awal hikmah dan pelajaran yang
baik yang saya dapatkan.
Segera saya telepon
bapak saya dan menceritakan kejadian unik tersebut dengan didramatisir sedikit
oleh saya untuk membuat bapak saya antusias mendengarkan. Sehingga beliau
berkeinginan untuk membantu saya mengatasi tersebut. Maklum, di daerah tempat
saya tinggal, bapak saya dianggap memiliki kemampuan supranatural yang mampu
menyingkirkan gangguan-gangguan mahluk tak kentara mata. Namun, bukannya
membantu, bapak saya hanya terkekeh-kekeh mentertawakan. Beliau malah meledeki
saya. Katanya, itu adalah sambutan selayang kasih dari mereka. Toh,
mereka juga berkeinginan untuk menyambut dan menunjukkan keberadaannnya kepada
saya dan teman-teman. Saya hanya mengiyakan dengan agak kesal. Tapi sehabis
itu, tak ada sedikitpun rasa takut yang berani lagi hinggap pada diri saya.
Sungguh sangat menarik sambutan dari mereka, meski sambutannya cukup
menyeramkan.
Silaturahmi
Keesokan harinya,
saya dan teman lainnya segera melakukan pendekatan dengan bersilaturahmi kepada
tetangga sekitar rumah. Bertegur sapa yang terkadang diselingi oleh canda tawa.
Bagian yang paling seru adalah ketika bersilaturahmi dengan gerombolan
anak-anak Cikuya. Mereka sangat ramah dan terbuka. Saya sangat senang sekali
mengetahui fakta tersebut. Diharapkan dengan pendekatan tersebut dapat terjalin
ikatan emosional yang baik, sehingga keberadaan kami di sana dan semua program
kegiatan yang akan kami laksanakan didukung penuh oleh mereka.
Pejuang
Cilik
Malam
itu seperti biasanya, dingin, sejuk dan riuh ramai oleh kehadiran para anak-anak
Cikuya, yang dengan semangat tingginya, menunggu setia di depan rumah, menunggu
panggilan dari saya untuk memasuki ruang sederhana, namun nyaman, untuk
melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Eurofia belajar mereka
sangat luar biasa. Tapi tidak untuk malam itu, banyak sekali murid-murid saya
yang tidak hadir, hanya terdapat tiga orang anak yang dengan polosnya duduk
sambil memperlihatkan senyum ikhlasnya. Tanda sudah tak sabar untuk belajar.
Ketiganya
sangat antusias menjawab pertanyaan saya yang keheranan mengapa hanya sedikit
yang datang. Seperti yang sudah saya tebak, mereka tidak hadir kebanyakan
dengan alasan mengada-ada. Tak apalah, yang penting bagi saya, berapa pun murid
yang datang, saya akan tetap memberikan pengajaran dan pembinaan. Membekalkan
diri mereka dengan ilmu, memupuk harapan mereka dengan membangun optimisme,
menerbangkan mereka hingga mampu menembus cakrawala, membuka gerbang langit dan
menggapai singgasana mimpi, kemudian kembali saya hempaskan mereka dengan menyadarkan batin
mereka akan kenyataan kondisi orangtua dan desa tercintanya.
Pengabdian
Hari
demi hari berlalu, kegiatan demi kegiatan telah dilaksanakan. Mulai dari
kegiatan pembukan di kantor desa, mengajar bahasa inggris di SDN 3 Cikuya,
mengajar ilmu jurnalistik di SMPN 2 Solear, membimbing dan memberi seminar
motivasi kepada anak-anak Cikuya di rumah belajar DEVELOPER, menonton bersama, dan seminar narkoba. Semuanya
dijalankan penuh dengan semangat pengabdian. Dari keseluruhan kegiatan yang
telah kami laksanakan, ada satu kegiatan yang tak terlupakan, yaitu kegiatan
ramah tamah yang diselingi makan-makan sebagai penutup acara kegiatan kami di
Desa Cikuya. Hampir seluruh penduduk hadir membanjiri halaman rumah kami.
Berhamburan riuh gemuruh penuh keantusiasan. Meskipun malam itu diguyur hujan,
mereka tak sedikitpun berkeinginan untuk beranjak dari tempat duduknya. Bahkan
ada seorang ibu yang membawa seluruh anak-anaknya, termasuk anaknya yang masih
belum genap satu tahun.
Para
pemuda yang biasanya segan menghampiri, pada saat itu, mereka membaur, larut
dalam kemeriahan acara yang sederhana itu. Para pemudi yang biasanya tak berani
menampakkan diri, muncul ke permukaan, tentu dengan wajah yang dipenuhi
solekan. Tak hanya warga desa yang menghadiri, para guru di tempat kami biasa
mengajar pun hadir. Mereka juga membawa anggota keluarganya. Semuanya bersatu
padu, bersendu gurau dalam keharmonisan. Luar biasa memang sambutan penghantar
pulangdari mereka.
Di
akhir kegiatan tersebut, tanpa direncanakan, tiba-tiba banyak sekali warga yang
menyerbu saya dan teman-teman untuk sekedar bersalam-salaman, bahkan ada yang
minta untuk foto bersama. Di tengah-tengah hiruk pikuk suasana, tiba-tiba
segerombolan remaja putra dan putri menghampiri saya dengan wajah yang diliputi
senyum kebahagiaan. Mereka serempak menyapa saya menggunakan bahasa Inggris. “Thankyou for everything Kak Hasan.”
sambut mereka sambil tertawa tersipu malu. Lucunya, mereka sempat saling
menyalahkan akan pengucapan bahasa Inggris yang kurang tepat. Mereka adalah murid bahasa Inggris saya yang
tiap malam datang dengan semangat belajar yang luar biasa. Saya hanya mampu
membalas mereka dengan memberi kehangatan salaman dan sebuah senyum tulus penuh
kerinduan, juga beberapa foto ala kadarnya.
Pada saat itulah, batin dan jiwa saya sungguh terasa menggelegar.
Rasanya, penyesalan tak mampu lagi saya hindari. Sungguh menyesal saya, saat
saya mengalah dengan kemalasan, dan mengajarkan mereka hanya sebatas memenuhi
kewajiban, bukan dikarenakan sebuah panggilan hati nurani.Ternyata kegiatan
mengajar yang saya lakukan benar-benar memberikan saya kesadaran akan makna
sebuah pengabdian.
Sebongkah
Harapan untuk Desa Cikuya
Mengabdi
selama tiga puluh hari, melaluikisah-kisah menggelitik dan menggugah di Desa
Cikuya membuat saya mampu merajut begitu banyak hikmah dan pelajaran.
Menyadarkan saya bahwa saat ini bukanlah waktunya untuk mengeluh atau menghujat
siapapun akan kondisi bangsa. Lebih baik menyalakan lilin daripada terus
menerus mengutuki kegelapan. Bertindak sekecil apapun yang ditujukan untuk
mengabdi, merupakan tindakan yang sangat besar untuk sebuah perubahan ke arah
yang lebih baik.
Hal
besar yang telah saya lakukan adalah saat saya mampu meyakinkan masyarakat
desa, bahwa pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Meski bukan satu-satunya
cara, pendidikan merupakan hal yang paling penting dan harus diprioritaskan
sebagai bekal dalam menghadapi cepatnya perubahan kehidupan di era modern
seperti ini.
Saya
berhasil menanamkan rasa cinta pendidikan kepada anak-anak dengan
mengiming-imingi berbagai kenikmatan hidup dunia dan kesejahteraan kehidupan
akhirat (faktor penarik). Hanya orang
yang berilmulah yang mampu menggapai keduanya. Selain itu, saya juga
menyadarkan mereka akan kondisi orangtua dan desanya (faktor pendorong).
Di
akhir kegiatan pun saya berhasil meyakinkan dan membuat para orangtua Cikuya
berjanji untuk senantiasa mendukung penuh anak-anaknya untuk meningkatkan
pendidikan mereka. Memberitahu bahwa tugas kami hanyalah untuk menyulut
semangat belajar anak-anak mereka. Tugas mereka adalah mereka harus mampu
mempertahankan dan meningkatkan semangat belajar anak-anak mereka paska
kepulangan kami nanti.
Akhirnya
saya menyadari mengapa program KKN ini tetap diberlakukan. Sungguh saya sangat
menyesal mempunyai pikiran-pikiran buruk terhadap para pembuat kebijakan KKN.
Saya sadar bahwa tujuan utama dari program KKN ini bukanlah untuk membuat
desa-desa menjadi lebih baik lagi, itu hanyalah tujuan pelengkap. Tujuan
utamanya adalah menyadarkan mahasiswa kota yang dipenuhi dengan kesombongan
status yang melekat pada dirinya. Menyadarkan mahasiswa bahwa seberapa tinggi
ilmu yang mereka miliki dan seberapa tinggi derajat jabatan organisasi kampus
yang mereka dapati, tidaklah bermakna jika tidak diamalkan dan ditujukan untuk
memperbaiki atau sekedar mengatasi permasalahan-permasalahan masyarakat.
Semakin
kuat keinginan saya untuk menuntut ilmu lebih dalam lagi. Melanjutkan kuliah
hingga jenjang yang paling tinggi. Untuk membuat racikan formula khusus,
formula manajemen sosial yang didasari dengan dasar keilmuan, keagamaan dan
budaya adat masyarakat Indonesia asli, sehingga mampu memberikan kehidupan yang
lebih baik lagi bagi mereka dan mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa
Indonesia. Seperti pepatah Minang yang berbunyi:
“Anak dipangku kemenakan
dibimbing, orang kampung dipertenggangkan, jaga kampung jangan binasa, jaga
dengan serta adatnya.”