"Everything that I have now come to me in ways I can't expect"

Perjalanan waktu memang unik. Keunikannya seringkali menampakkan sesuatu yang unik pula, tak terduga, juga tak terbayangkan. Begitu pula dengan peristiwa yang baru saja saya alami. Peristiwa yang terjadi beberapa minggu lalu, saat saya mengurusi sebuah acara di sebuah desa.

Hari itu, Sabtu malam tepatnya, selepas sholat maghrib, saya lihat jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul 18.20. Segera saya bergegas mempersiapkan diri keluar menuju ke tempat acara.  Saya tidak ingin telat. Ah, tidak boleh telat lebih tepatnya. Itulah risiko sebagai event organizer, yang sudah tentu bertanggungjawab atas keberlangsungan acara sesuai yang telah direncanakan. Tidak ada pilihan selain datang lebih awal dibanding lainnya.

Di teras, saya duduk bersandar sembari memasang sepatu biru abu-abu. Rekan saya yang lainnya juga ikut duduk, bersiap untuk segera berangkat. Sementara di luar gemersik dedaunan bergesekan dihembus angin malam khas pedesaan. Senandung serangga malam mulai terdengar dan mulai ditingkahi suara bising deru motor yang bersahutan melintas di depan halaman. Tampak seperti biasa. Tidak ada yang istimewa.

Namun tiba-tiba ada yang terlintas sekelebatan di benak pikiran. Saya melupakan sesuatu. Ya. Saya belum membeli barang yang akan dijadikan sebagai hadiah. Tidak hanya itu, saya juga belum membuat daftar pertanyaan yang akan diajukan saat kuis nanti. Parahnya, saya juga belum tahu barang apa yang layak dibeli. Ah kenapa jadi riweh seperti ini. Keadaan memang tidak bersahabat. Mau tidak mau saya dipaksa untuk terlambat.

Beruntungnya, saya memiliki rekan sedivisi yang tinggal serumah, juga bisa diharapkan untuk memudahkan menyelesaikan pekerjaan saya. Sebut saja namanya B. Seorang wanita yang pemikirannya cukup dewasa, melebihi usianya. Segera saya memintanya untuk berangkat ke tempat acara bareng saya. Dengan terpaksa pula saya harus menolak tawaran teman yang mengajak bareng pergi ke tempat acara. Sembari menitipkan flashdrive dan beberapa pesan penting terkait acara, saya juga menitipkan permintaan maaf untuk seluruh panitia yang hadir lebih awal di sana atas keterlambatan saya. 

Beberapa menit berlalu, si B masih belum siap untuk berangkat. Tidak ada pilihan selain menungguinya. Mengesalkan memang. Disituasi segenting ini, dia masih bergelut merias diri. Sesekali saya ingatkan untuk mempercepat, berkali-kali pula ia hanya meng-iya-kan.

Kembali saya duduk bersandar sambil memikirkan pertanyaan kuis yang akan disampaikan beserta barang apa yang harus dibeli. Tak lama kemudian, saat saya sedang asyik berpikir, dia beranjak keluar dari kamarnya. Dengan cekatan mata saya langsung memandangnya.Tampak jelas sesosok wanita penuh aura kecantikan. Saya terdiam terperangah. 

"Benarkah dia si B?" gumam saya dalam hati. 

Saya seperti dihadapkan pada sebuah perahu besar yang mengombang ambingkan jiwa pada sebuah perjalanan halusinasi tak berujung. Mata saya benar-benar dimanjakan oleh kilatan aura dan pancaran serpihan kecantikannya, keindahan yang tak pernah saya temui dalam kondisi kesadaran yang biasa. Menghidupkan kembali semangat hidup yang telah cukup lama meredup. Lebih dalam lagi saya memaknainya, waktu dan masa semakin tak diketahui keberadaannya, semuanya menjadi kacau namun indah. Benih-benih perasaan tumbuh dengan cepatnya, melenakan jiwa yang terlanjur bergelora. Memalukan sekali. Terjerembab dalam bayangan gadis yang baru dikenal.

Saya bergeming. Menghilangkan pikiran yang tak karuan tersebut dalam sekejap.  Saya pandang langit, terlihat bulan dan bintang-bintang menyaksikan penuh ledekan. Segera saya beranjak dari kursi, menghampiri motor bebek yang masih kuat meski sudah agak renta. Saya hidupkan motor. Tanpa dipinta, si A menghampiri dan langsung duduk di belakang. Saya tarik gas motor, melaju dengan kecepatan normal, yang kemudian menjadi cukup kencang. Sepanjang perjalanan saya terus menghela diri, berbasa basi meminta pendapatnya terkait masalah yang saya hadapi dalam urusan acara tersebut. Lupa jika hawa dingin sedang membabi buta mencoba merasuki tubuh ini.
Setibanya di tempat acara, baru beberapa langkah kaki dipijakkan, saya kembali dikejutkan dengan sesuatu yang menakjubkan. Berdiri di hadapan saya seorang gadis, rekan panitia, yang wajahnya cukup familiar. Degup jantung yang baru saja kembali normal, kini kembali berdendang-dendang tak karuan. Aliran darah berdesir cepat, mendinginkan hati. Bibir manisnya ditambah lesung pipi yang begitu memikat benar-benar menenggelamkan saya dalam lautan samudera khayalan. Entah kapan dan dimana saya merasa ini bukanlah pertama kali saya menemui gadis itu. 

"Inikah gadis impian yang melebihi kriteria impian saya sendiri?" Kembali saya berbisik dalam hati.

Meski wajahnya tak asing, tapi saya belum mengetahui namanya pada saat itu. Oleh karena itu, sebut saja gadis tersebut dengan sebutan si C. Kejadian yang benar-benar unpredictable.

Di tengah hiruk pikuk acara tersebut, saya berusaha keras menenangkan diri. Menghilangkan ketiga wanita tersebut dari pikiran yang sedang keletihan me-reka-reka apa gerangan yang sedang terjadi. Tak henti-hentinya suara-suara di pikiran terus menerus berteriak. Memaksa hati untuk segera mendeklarasikan rasa ketertarikan pada ketiga wanita tersebut. Tetapi hati tetap kekeuh dengan pendiriannya. Hanya satu diantara ketiga wanita tersebut yang dapat dideklarasikan.

Alih-alih menenangkan diri, gelora asmara justru bergejolak makin jadi. Pesona ketiganya benar-benar menyeret perasaan dalam kondisi diantara keresahan dengan kebahagiaan. Penuh teka teki.

How is this possible? Bagaimana bisa ketiga hal tersebut bisa datang bersamaan? Pikiran saya sungguh dibingungkan. Terlebih melihat kejadiannya begitu cepat terjadi. Sulit dilogikakan bahwa kejadian menakjubkan bisa terjadi bersamaan.

Sejenak saya merenung. Mengapa begitu mudah tertarik dan jatuh cinta meski baru mengenal mereka? Apakah ini wajar? Beberapa saat kemudian, saya teringat sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan . Dalam firmannya,

 Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS: Adz-Dzariyat, 47-49).

Oleh karena itu, secara fitrah manusia memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis (bukan pada sesama jenis yaa :p) sehingga ada sesuatu yang amat kuat menarik, dengan dorongan naluriah dan fitrahnya, seorang pria akan mendekati wanita. Begitu pula dengan diri saya.

Ah, ternyata yang saya lakukan sejauh ini tidak salah. Toh saya juga berpikir bahwa pada akhirnya tujuan hidup adalah mencari mati yang baik. Untuk mencari mati yang baik, kita tidak hanya hidup yang baik, tetapi juga harus bisa menghasilkan generasi yang baik pula. Generasi yang mampu memberi manfaat pada sesama dan generasi yang baik dihasilkan dari pasangan yang baik. Oleh karena itu, memilih pasangan yang baik merupakan sebuah kewajiban. Namun yang jadi pertanyaan, siapakah wanita yang layak saya dekati? Ketika pertanyaan tersebut terjawab, pertanyaan lainnya akan muncul ke permukaan. Apakah saya layak mendekati wanita tersebut? Atau bagaimana jika yang didekati tidak ingin didekati? Pertanyaan sederhana yang menyakitkan bagi sebagian besar manusia dan cukup rumit untuk dijawab.

Sebelum saya jawab, perlu diketahui bahwa agenda hidup yang dipenuhi lika-liku ketidakpastian ini membuat saya berjuang, berikhtiar maksimal, sementara tanpa keberanian untuk bertindak, menyatakan cinta, satu hal bisa dipastikan, saya tidak akan pernah mencapai apa-apa. Coba dulu. Sesuai dengan yang diberitahu hadits qudsi.

“Kerjakan yang engkau tahu, nanti Allah memberitahu apa yang engkau tidak tahu.”

Dalam konteks permasalahan saya ini, mungkin ada beberapa kata yang diubah agar maknanya bisa sesuai.

“Kerjakan yang engkau bisa, nanti Allah memberikan kemampuan untuk melakukan hal yang engkau tidak bisa lakukan.”

Maka dari itu, apabila saya telah melakukan hal yang bisa saya lakukan (mencintai) namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan (cinta saya tidak digubris), itu bukanlah masalah. Saya bukanlah tipikal orang yang terbelenggu pada kategori realistis atau tidak menurut rujukan kebanyakan orang. Saya percaya Allah akan senantiasa membukakan pintu-pintu harapan saat Dia menutup satu pintu di hadapan kita. Hanya persoalan waktu.
  
Mendapat dalil pembenaran dalam mengambil tindakan, pikiran saya kembali menerawang. Menerobos kehampaan harapan. Mengorek-ngorek ingatan lama demi menjangkau sebuah jawaban. Berharap mendapat ilham.

Nama A muncul, lalu hilang. Nama B muncul, lalu kemudian nama C. Mereka silih berganti bermunculan mengisi hati dan pikiran. Terombang ambing di sisi gelap perasaan, berebut tempat untuk mengapung ke permukaan, semua seperti berharap menjadi bidikan. Hingga kemudian menjadi perang tanpa bayangan, karena kedudukannya yang seimbang. Dewan hati dan pikiran yang biasanya begitu mudah bersuara, kini diam termangu penuh kebisuan memperhatikan. Pikiran para dewan terus berputar, terus menerus, membentuk tanda tanya besar. Tidak! Lebih tepatnya seperti gelembung besar yang ditendang kesana kemari. Seolah-olah saya berada di tengah lapangan sendirian, meringkuh kaku dan diteriaki penonton untuk segera menentukan. Siapakah yang pantas dideklarasikan?

Kembali pikiran saya menguras kesadaran, merambat menuju sisi kekosongan untuk menemukan secuil kesejatian jawaban. Tak lama berselang, rupa-rupanya kegamangan saya telah berakhir, dengan penuh kesungguhan, saya berhasil menentukan sebuah metode yang dapat digunakan untuk menentukan siapa yang pantas dideklarasikan.

Metode ini seringkali saya terapkan, khususnya ketika saya dihadapkan pada banyak pilihan yang memiliki kedudukan setara. Hasilnya? Alhamdulillah sesuai dengan yang diharapkan.

Metode tersebut didasarkan filosofi makna kata islam dan juga filosofi hidup saya, menyerahkan. Menyerahkan diri kepada Allah untuk memperoleh keselamatan dan kedamaian. Tak hanya diri, tapi seluruh urusan pun saya serahkan kepada-Nya.

Cara kerjanya sederhana, saya memberikan beberapa pilihan, kemudian saya serahkan ke hukum Allah (Sunnatullah) untuk penentuan pilihan yang tepat. Saya sendiri sering menyebutnya sebagai Signs of God. Karena metode tersebut hanya dapat menghasilkan tanda yang saya anggap menunjukkan pilihan terbaik dibanding pilihan lainnya. Keputusan untuk memilih tetap berada di tangan saya. Entah saya mau ikuti atau tidak dari tanda tersebut. Toh, Allah menciptakan kita sebagai khalifah, iya kan? Memilih termasuk kegiatan yang semestinya dilakukan oleh khalifah dan merupakan kebebasan anugerah dari-Nya.

Mungkin sebagian dari kalian beranggapan bahwa metode tersebut termasuk perbuatan yang dilarang, karena cara kerjanya mirip dengan judi (mengadu peruntungan) dan juga berbau musyrik karena terdapat kemungkinan tanda yang datang bukan berasal dari Allah SWT.

Is it truth? It depends on your point of view. Everything we have done for a reason, right?

Lalu untuk konteks yang saya hadapi, metodenya adalah siapapun diantara ketiganya yang mengajak saya berkomunikasi terlebih dahulu tanpa saya memulainya, dialah yang layak dideklarasikan untuk dipilih. (Saat saya memutuskan untuk memilih, bukan berarti saya merasa sok ganteng, sok keren atau sok-sokan lainnya. Memilih yang saya maksud di sini adalah memilih untuk mencintai dengan sesungguhnya, bukan untuk memiliki dalam kurun waktu sementara, baik itu memacarinya atau menikahinya. Bukankah mencintai yang baik adalah dengan mencintai tanpa pamrih? Tanpa mengharapkan dicintai balik, iya kan?)

Awalnya saya pesimis, tak berkutik, seperti berada dalam kesunyian angan, bahkan muncul rasa ketakutan kalau tidak ada sama sekali yang mengajak saya berkomunikasi. Namun saya tetap percayakan semuanya ke sunnatullah. Membiarkannya mengalir seperti air. Tidak mengabaikan, tidak pula terlalu mengharapkan.

Sementara itu disaat saya sedang asyiknya melenakan diri dalam kegiatan acara, tiba-tiba si C menghampiri dan mengajak mengobrol. Jelas saya tidak melewatkan momen tersebut.  Kaget. Senang. Entah apa rasanya. Tercampur aduk semuanya. Terlebih kami sempat foto bareng di tengah-tengah obrolan. Pikiran dan hati kompak menyatakan si C lah yang dipilihkan Allah untuk saya. Namun disaat bersamaan, disaat sedang asyik-asyiknya kami mengobrol, tiba-tiba ada pesan whatsapp masuk. Unbeliavable. Pesan masuk dari si B. Saya jelas terkesiap. Tak siap akan ketidaklumrahan tersebut. Kembali pikiran dan hati meralat pernyataannya dengan berat hati.

Satu-satunya yang saya bisa lakukan saat itu adalah berdamai dengan keadaan. Berpasrah diri. Sulit berharap tidur tenang malam itu.

Allah maha baik.” Lirih saya dalam hati sembari menyengirkan senyuman tulus.

Memang tidak banyak yang diobrolkan dengan ketiga wanita tersebut pada malam itu, dikarenakan saya disibukkan mengurusi perubahan acara dan badan saya terlalu rapuh untuk melanjutkan obrolan sesudah acara, tapi jelas, obrolan itu cukup bermakna. Merubah alur kehidupan. Tapi sungguh disesalkan, ini pertama kalinya metode tersebut menghasilkan hasil yang seimbang.  This is first time I am out of control.

Sangat ironis. Saya makin kelimpungan. Ingin rasanya menghentikan semua ini sebelum menjadi lelucon murahan yang sangat layak untuk ditertawakan.  But once I start it, I can't stop it. Pada akhirnya, saya harus menggunakan metode usang penuh bau kebusukan, metode perbandingan, tolak ukur yang sangat liar untuk mendapat jawaban. Maka dari itu, untuk menimbang dengan seimbang, meski itu hanya sebuah ilusi tak menepi, remang-remang, perlu rasanya untuk mendeskripsikan ketiga gadis tersebut dari teropong kerdil pandangan kelam yang saya miliki. Kira-kira deskripsinya seperti ini:

Untuk gadis yang kedua, saya telah menaruh ketertarikan ketika mendengarkan dia curhat tentang kehidupannya. Tampak dia sangat bersemangat ketika mampu mengungguli lawannya yang berasal dari kampus ternama dalam perlombaan karya tulis ilmiah. Menurutnya, lawan yang dihadapinya sangat sombong karena berasal dari kampus ternama. Maka tidak mengherankan dia sangat senang mengalahkannya. Dendam. Ya. Dendam yang dia simpan terhadap lawannya telah sedikit terlampiaskan. Mungkin dendamnya tersebut dapat saya manfaatkan sebagai pemantik semangat. Saya harus mengubah semua kekurangan menjadi ajang pembuktian bahwa saya mampu bangkit dari keterpurukan.

Selain itu, saya juga sangat menyukai disaat dia mengajar. Bahasa tubuhnya selalu condong untuk bergerak maju, kalimat yang keluar dari bibir tipisnya begitu deras, patah-patah, tapi tegas, menyiratkan karakter penuh kesabaran. Pemikirannya sangat kuat, tak mudah goyah, bagai paku baja yang kuat menancap. Seringkali pemikirannya menyelubungi rongga-rongga pemikiran saya.

Dia juga senang menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan. Jika bosan, ia akan beranjang ke depan, bersendu gurau ke teman segenerasi, bahkan ke orang yang usianya jauh di bawahnya. Tak ada sekat, tak ada hierarki. Hanya sekali saya memandang dia melamun, memandang apapun yang terlintas di depan matanya penuh kesemuan. Entah apa yang dipikirkan.

Untuk gadis yang terakhir kali saya temui, itu pertama kalinya saya merasa fall in love at first sight. Saya tidak tahu alasannya apa dan kenapa. Tapi yang jelas, rasa itu seolah-olah sudah lama terpendam, tersegel rantai memori baru, dan terlepas ketika menatap wajahnya yang begitu ayu.

Tidak hanya itu, sejauh ini, saat melihat dia berbicara panjang lebar dengan kebanggaan, baik itu mengobrol secara langsung face to face ataupun via media online, diwaktu larutnya malam ataupun teriknya siang, saya merasa ada kesamaan karakter yang begitu kuat dengan karakter dirinya, tetapi kita memiliki visi kehidupan yang sangat jauh berbeda. Kesamaan yang saya maksud adalah kita sering tergesa-gesa dan tanpa pikir panjang alias emosional dalam bertindak ataupun memutuskan sesuatu. Perselisihan kecil yang saat ini sedang bergejolak diantara kita pun merupakan akibat dari kesamaan karakter tersebut. Meninggikan gengsi dan sulit mengalah, bahkan untuk meminta maaf sekalipun. Bagi kita, minta maaf harganya sangat mahal, jutaan dolar haha.

Selebihnya, dia adalah wanita unik kharismatik. Saya benar-benar tak bisa memahami alur pikirannya. Jelas sangat menarik menjalani hidup dengan wanita seperti dia. Penuh akan warna kehidupan.

Demikianlah uraian yang penuh kecerobohan dan kekurangan yang didasarkan atas kedangkalan pikiran. Luar biasa memang, perbedaan yang Allah tunjukkan antara hamba-hamba-Nya.

Although my situation is complicated enough. Masih ada secercah cahaya di ujung terowongan, masih ada waktu memperbarui rasa syukur di hati, meski hidup tak selalu sesuai dengan keinginan. Percaya bahwa semua milik Allah. One thing’s for sure, they are good women and I want them to have better life.
Bersambung...

*Dari berbagai sumber
Based on fiction, not real facts

0 komentar:

Posting Komentar

 
Aysan © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top