Pengertian
syariah yang dikemukakan oleh Safi memberikan suatu indikasi bahwa syariah
bukan merupakan sistem hukum yang cenderung menekankan diri pada sisi sistem
hukum positif belaka, namun juga lebih dari itu, yaitu pada sisi moralitas
(etika). Di sini terlihat adanya keterkaitan antara syariah sebagai hukum
positif, di satu sisi, dan etika, di sisi yang lain, sebagai “ruh” yang
memberikan nilai hidup bagi syariah itu sendiri. Pernyataan ini selaras dengan
pendapat al-Faruqi yang mengatakan bahwa eksistensi masyarakat sebetulnya
terletak pada moralitas yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dan eksistensi
tersebut juga dipengaruhi oleh fleksibilitas syariah dalam menanggapi atau
mengakomodasi perkembangan masyarakat. Dalam pandangan awam, syariah
seolah-olah merupakan hukum yang sakral, yang dengan mengadakan perubahan
terhadap isi syariah berarti mengurangi nilai kesakralannya: atau dengan
ungkapan yang ekstrem, perubahan tersebut dapat dianggap sebagai usaha mengubah
hukum-hukum Allah. Bahkan pandangan ini menganggap syariah sebagai hukum yang
sudah final yang pada akhirnya mengakibatkan timbulnya suatu persepsi bahwa
syariah itu adalah tujuan. Tentang hal ini Mas’udi secara panjang lebar menerangkan:
“Dengan
dibangun dan dikokohkannya pilar-pilar mazhab dalam islam, secara
perlahan-lahan umat mengalami kemandekan dalam dunia pemikiran. Baik awam
maupun elitnya sama-sama cenderung tidak lagi mengabsahkan setiap upaya
pengkajian ulang ajaran-ajaran keagamaan yang diimani. Semua ajaran itu, tahap
demi tahap, dianggap sudah selesai secara konsepsional. Tugas umat Islam di
kemudian hari hanyalah mengenali konsepsi-konsepsi tersebut, menghafalkan
sebisanya, dan di atas segalanya adalah mengamalkan tatacara yang diajarkan.
Setiap pemikiran yang menjurus pada pemikiran ulang konsepsi-konsepsi keagamaan
segera dicurigai, dan selalu diusahakan untuk dihindari. Ada dua trik, sekurang-kurangnya
untuk mengelak dari kemungkinan semacam itu. Pertama, dengan menciptakan mitos
seolah keinginan seperti itu hanya bisa dipenuhi oleh kualitas keulamaan yang
tidak lagi dilahirkan di muka bumi. Ini terlihat, antara lain, dalam usaha mereka
mempersempit kemungkinan atau menakut-nakuti setiap orang yang ingin memasuki
wilayah ijtihad. Kedua, pemikiran ulang seperti itu selalu saja didiskreditkan
sebagai tidak perlu dan hanya akan membuat stabilitas ‘keberagaman’ umat yang
sudah mapan kembali berantakan. Jika kemudian terdapat kelainan-kelainan
(bahasa formalnya: kesesatan), maka sebabnya adalah ketertipuan kita dalam
memandang pengungkapan seolah subtansi, dan dalam memandang cara atau jalan
(wasilah) seolah tujuan (ghayah).”
Pandangan
awam yang konservatif-formalistik ini memang tidak menutup kemungkinan
mengakibatkan timbulnya kemandekan berpikir individu-individu di kalangan umat
Islam dan bahkan bisa saja menurunkan superioritas umat. Kekakuan dalam pandangan
ini disinyalir oleh Safi, karena ulama-ulama sebelumnya menempatkan
pembatasan-pembatasan yang sangat kuat. Salah satu doktrin “kepastian ijma” (the
infallibility of ijma).
Menurut
teori ini, konsesus ulama tentang suatu masalah harus dianggap sebagai langkah
final dalam usaha memahami “kebenaran” atau status hukum dari masalah tersebut.
Akibatnya, para ahli hukum Islam atau umat Islam secara keseluruhan seolah
terlarang untuk menilai kembali keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan
yang telah disepakati melalui ijma’ (konsensus) tadi. Akhirnya kegiatan ijtihad
menjadi terhenti, di samping memang karena para ulama menetapkan persyaratan
yang sangat berat dan ketat bagi seseorang yang akan memasuki dunia ijtihad.
Lama-kelamaan, ijtihad yang merupakan unsur yang sangat dinamis dalam dunia
pemikiran hukum Islam dan masalah-masalah sosial lainnya, diganti dengan “takliq”.
Syariah: Upaya Pencarian
Sunnatullah
Apa
yang telah di bahas di atas adalah persepsi tentang syariah sebagai ketentuan
hukum yang menganggap bahwa hukum-hukum syariat yang telah diformulasikan dan
ditetapkan oleh ulama-ulama sebelumnya berada dalam posisi yang sudah final.
Tentu pandangan semacam ini sulit diterima bagi mereka yang kontra terhadap
pendapat tersebut. Paling tidak, dalam hal ini, ada tiga alasan mendasar
mengapa pandangan yang kedua menolak yang pertama. Pertama, doktrin tentang “kepastian
ijma” adalah mitos. Mitos ini timbul karena adanya rasa kehati-hatian
(konservatif) yang sangat tinggi dalam “menjaga” kemurnian “Sunnatullah”
(hukum-hukum Allah). Untuk menjaga kemurnian tersebut, maka hukum-hukum yang
telah diformulasikan dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi sangat formal dan
kaku, seolah-olah hukum-hukum tersebut telah dipagari dengan pagar tembok, maka
ketentuan baru tersebut merupakan suatu penyimpangan, yang mau tidak mau harus
dihilangkan. Dengan demikian, hukum-hukum syariat menjadi tertutup. Karena paham semacam
ini (kepastian ijma) merupakan sebuah mitos, maka yang menjadi perhatian atau
minat dari pandangan kedua adalah membongkar mitos tersebut dari pola berpikir
umat. Karena mitos merupakan tabir yang menghalangi penglihatan umat yang ingin mencoba melihat Sunnatullah
secara lebih jelas, luas dan menerjemahkannya dalam bentuk praktis dan dalam
konteks dimensi sejarah (ruang dan waktu) yang melingkupi.
Kedua,
peradaban manusia selalu berubah. Manusia dengan kapasitas fitrah (daya
berpikir dan kehendak bebas)-nya memiliki daya yang besar untuk selalu
melakukan perubahan, yaitu mengembangkan peradaban pada tingkat yang lebih maju
dan sempurna. Dari abad ke abad, dari zaman ke zaman dan dari waktu ke waktu,
peradaban manusia akan terus berubah. Kapasitas (untuk selalu mengadakan
perubahan) ini tidak dapat dibendung oleh siapapun, karena kapasitas ini, tidak
ada keraguan di dalamnya, merupakan Sunnatullah. Melihat kenyataan ini, adalah
suatu hal yang logis, bila syariah juga selalu berubah (dalam arti syariah
sebagai satu set hukum positif, namun “ruh”nya yang bersifat universal akan tetap
berlaku sepanjang masa). Sebaliknya, akan menjadi suatu hal yang aneh bila,
misalnya, peradaban pada masa kini (yang dibangun oleh masyarakat modern yang
majemuk dan kompleks) kemudian dicoba diatur dengan hukum-hukum yang
diformulasikan beberapa abad yang lalu dan oleh masyarakat masa lalu juga.
Ketiga,
Sunnatullah yang tersebar luas. Tampaknya sudah menjadi pola pikir yang sudah
umum (mainstream) bagi pendukung teori syariah tradisional untuk memahami
Sunnatullah hanya sebagaimana termaktub dalam, atau hanya bersumber dari
Al-Quran (dan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw). Namun, bagi mereka
yang tidak sependapat dengan pandangan ini beranggapan bahwa sebetulnya
Sunnatullah itu tidak terbatas pada sumber yang disebutkan di atas (yang
kemudian dikenal dengan sebutan ayat-ayat qauliyah), tetapi juga hukum-hukum
yang tersebar luas di permukaan bumi ini, yaitu ayat-ayat kauniyah. Pandangan
yang kedua ini sebetulnya merujuk kepada beberapa ayat Al-Quran misalnya
seperti QS Al-Alaq ayat 1-5, QS Thaha ayat
128, QS Al-Hajj ayat 46, QS Al-Furqon ayat 20, QS Fathir ayat 44 dan QS Lukman
ayat 29.
Ayat-ayat
tersebut di atas memberikan suatu penunjuk, agar manusia mempelajari
hukum-hukum sosial (sejarah) dan alam (sunnatullah) yang tersebar luas di muka
bumi untuk kepentingan hidup mereka. Untuk itu, kapasitas akal sangat besar
peranannya dalam mencari dan mempelajari sunnatullah, yang untuk kemudian,
manusia tunduk di dalamnya.
Pandangan
ini menyiratkan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka. Dan dengan terbukanya pintu
ijtihad ini, maka terbuka pulalah kemungkinan syariah untuk selalu berkembang.
Ijtihad merupakan sebuah jalan yang dapat digunakan untuk memahami dan
mengakses sunnatullah.
Dengan
demikian, syariah akan terus berkembang baik dalam arti metodologi maupun dalam
bentuk aturan-aturan baru yang diformulasikan sebagai jawaban atas peradaban
masyarakat yang selalu berkembang. Atau, dengan menggunakan kata-kata Asghar
Ali Engineer, “hukum syariah berubah sesuai dengan bermacam-macam tantangan dan
persoalan dan memang harus dipahami seperti itu. Dengan kata lain, syariah
adalah hukum situasional, bukan transendental dan harus diterapkan secara
kreatif sesuai dengan perubahan keadaan.”
Tulisan ini mengutip tulisan Iwan Triyuno seluruhnya (dengan diringkas dan beberapa kata/kalimat diubah) dalam bukunya yang berjudul "Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah" yang diterbitkan oleh PT RajaGrafindo Persada di Jakarta pada tahun 2006, halaman 80-85.