Oleh:
Nurhasanudin, Student of Sharia Banking, Islamic Economic, UIN Jakarta
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sebagian
besar masyarakat di dunia, khususnya kelompok miskin dan rentan, tidak memiliki
akses terhadap layanan keuangan (financial services). Sebanyak 2,7
milyar penduduk dunia tidak memiliki akses kredit, asuransi, dan tabungan (CGAP
dan Bank Dunia, 2010). Di Indonesia, menurut Bank Dunia (2010) secara nasional
akses ke sistem keuangan formal hanya menjangkau sekitar 52% dari total jumlah
penduduk. Di sisi lain, terdapat 31% penduduk mengakses keuangan informal dan 17%
penduduk yang mengalami keuangan eksklusif (tidak mengakses sistem keuangan).
Masih menurut Bank Dunia (2010), sebanyak 50% penabung menyimpan uangnya di sektor
keuangan formal bank, sedangkan 18% penabung menyimpan di sektor informal
seperti arisan, klub tabungan, dan kelompok dana bergulir, sementara 32%
lainnya tidak memiliki tabungan. Dalam hal pinjaman, sebanyak 33% masyarakat
cenderung memilih menggunakan sektor keuangan informal, seperti teman,
keluarga, tetangga, majikan dan rentenir dibandingkan dengan sektor keuangan
formal, yakni sebesar 17%. Ironisnya, sekitar 40% penduduk tidak memiliki akses
terhadap produk dan jasa keuangan baik formal maupun informal.
Ada
beberapa faktor yang menghambat akses masyarakat terhadap sektor keuangan
formal. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan, akses
masyarakat menjadi terhambat karena kurangnya pengetahuan dan kepedulian
masyarakat terhadap jasa keuangan, rendahnya pendapatan, tidak adanya jaminan
dan sosial inklusif. Dari sisi penawaran, beberapa faktor yang seringkali
membuat masyarakat tidak dapat mengakses sektor keuangan formal diantaranya
jauhnya jarak cabang bank dengan tempat tinggal, prosedur yang rumit,
ketidaksesuaian produk keuangan dengan kebutuhan, bahasa yang kurang
dimengerti, perilaku pegawai, dan waktu operasi dari bank yang kaku. Maka dari
itu, keuangan inklusif menjadi penting dan mendesak karena masih banyaknya
jumlah penduduk dunia dan Indonesia yang belum memiliki akses ke sektor
keuangan formal.
Keuangan
inklusif sendiri merupakan sebuah konsep penting yang diperoleh sejak awal
2000-an, telah menjadi tujuan utama dalam pengembangan ekonomi bagi banyak
pemerintah dan bank sentral di negara berkembang. Konsep awalnya sering disebut
sebagai penyediaan layanan keuangan untuk segmen masyarakat berpenghasilan
rendah dengan biaya terjangkau. Selama beberapa dekade terakhir, konsep inklusi
keuangan telah berkembang menjadi empat dimensi: kemudahan mengakses layanan
keuangan untuk semua rumah tangga dan perusahaan di seluruh daerah, lembaga layanan
yang dipandu oleh peraturan dan pengawasan berdasarkan prinsip kehati-hatian,
keuangan dan keberlanjutan kelembagaan lembaga keuangan, dan persaingan antara
penyedia layanan jasa keuangan untuk menawarkan alternatif produk dan jasa kepada
pelanggan.
Keuangan
inklusif adalah seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan
yang bersifat harga maupun non harga, terhadap akses masyarakat dalam
memanfaatkan layanan jasa keuangan. (BI) Keuangan inklusif dianggap mempunyai
peran penting dalam mengurangi kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan sosial,
meningkatkan kemakmuran bersama, dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Secara
tradisional, masuknya keuangan ekonomi diukur dengan proporsi penduduk yang dapat
dijangkau oleh cabang-cabang bank umum dan ATM, ukuran banyak sedikitnya
simpanan dana deposito dan pinjaman yang dibuat oleh rumah tangga
berpenghasilan rendah dan pelaku Usaha Kecil Menengah Mikro. Namun,
ketersediaan layanan keuangan mungkin tidak sama degan inklusi keuangan, karena
masyarakat mungkin secara sukarela mengecualikan diri dari jasa keuangan untuk
alasan agama atau budaya, meskipun mereka memiliki akses dan mampu layanan
(Beck dan Demirguc-Kunt 2008).
Keuangan
inklusif telah menjadi agenda penting di tingkat internasional maupun nasional.
Ditingkat internasional, financial inclusion telah dibahas dalam forum
G20, OECD, AFI, APEC dan ASEAN. Dalam beberapa tahun terakhir, sedikitnya 50
negara, secara resmi telah menetapkan target dan tujuan dalam pelaksanaan
keuangan inklusif. Sedangkan di tingkat nasional, komitmen pemerintah telah
disampaikan Presiden RI dalam Chairman Statement pada ASEAN Summit 2011
dan komitmen untuk memiliki Strategi Nasional Keuangan Inklusif.
Selain
itu, ditahun 2015 lalu, pemerintah yang diwakili oleh Otoritas Jasa Keuangan
menggulirkan program branchless system
dengan nama Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (LAKU
PANDAI), yaitu kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang
dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga (agen) dan menggunakan sarana
teknologi seperti mobile based maupun
web based dalam rangka keuangan
inklusif (BI). Sedangkan bila mengacu pada definisi menurut OJK, Laku Pandai (branchless system) adalah kegiatan
menyediakan layanan perbankan dan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan
tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan
perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.
Program
Laku Pandai yang diadakan oleh Otoritas Jasa Keuangan didasarkan atas keberadaan
industri perbankan di Indonesia yang sudah ada sejak lama, yaitu dimulai ketika
pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank pertama di Nusantara, dan menjadi
cikal bakal perbankan nasional. Selama ratusan tahun keberadaan bank dan juga
seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah
250 juta jiwa, ternyata masih banyak populasi yang tidak memiliki akses ke
layananan perbankan. Hal ini dibuktikan dengan adanya jumlah pemilik
rekening di bank yang hanya mencapai
sekitar 60 juta rekening saja. Kondisi ini tentu disebabkan Indonesia memiliki
indeks keuangan inklusif atau financial
inclusion yang cukup rendah.
Perbankan
syariah yang sedang berkembang dengan pesatnya di Indonesia dianggap mempunyai
peran penting dalam program Laku Pandai. Seperti yang sudah diulas sebelumnya,
bahwa menyediakan akses layanan keuangan yang mudah dijangkau oleh masyarakat
berpenghasilan rendah tidaklah cukup untuk mencapai tujuan sesungguhnya dari
program Laku Pandai itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan banyaknya masyarakat
Indonesia yang mengecualikan dirinya dari layanan dan jasa produk keuangan
dikarenakan tidak sesuai dengan agama dan budaya yang masih melekat dengan
erat. Padahal mereka mampu menjangkau layanan jasa keuangan dengan mudah. Maka
dari itu, layanan jasa dan produk-produk perbankan syariah diharapkan menjadi
alternatif atau bahkan menjadi pilihan utama yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang belum dapat disediakan oleh perbankan konvensional yang
terlebih dahulu berkecimpung di program Laku Pandai.
BAB II
Pembahasan
2.1. Keuangan
Inklusif Syariah
Keuangan Inklusif Syariah merupakan
tampilan pertemuan antara dua sektor yang sedang berkembang pesat: Keuangan
Mikro dan Keuangan Syariah. Dengan memperkirakan sekitar 700 juta Muslim hidup
dengan penghasilan kurang dari $2 per hari (Obaidullah dan Tariqullay 2008),
menemukan model keuangan yang inklusif, berkelanjutan, dan sesuai dengan
prinsip syariah bisa menjadi kunci untuk menyediakan akses keuangan kepada
jutaan Muslim yang berekonomi rendah yang berusaha untuk menghindari
produk-produk keuangan konvensional yang tidak sesuai dengan syariah ( hukum
Islam).
Efforts to
increase financial inclusion in jurisdictions with Muslim populations thus
require sustainable mechanisms to provide Shari‘a-compliant financial services
to all residents, especially the Muslim poor, estimated at around 700 million
people who are living on less than $2 per day. One obstacle is the lack of
transparency and the absence of a broadly accepted standardized process for
assessing the compliance of financial institutions with Shari‘a guidelines,
which makes it difficult for many individuals to distinguish between financial
institutions that are operating based on Shari‘a specifications and
institutions that are not. Another difficulty has been the lack of information
and training on Islamic finance. For example, only about 48 percent of adults
in Algeria, Egypt, Morocco, Tunisia, and the Republic of Yemen have heard about
Islamic banks.
Finally, in
their infancy and smaller in scale, Islamic financial products tend to be more
expensive than their conventional counterparts,
reducing their attractiveness (Demirgรผรง-Kunt, Klapper, and Randall,
forthcoming).
Meskipun demikian, keuangan syariah
adalah industri yang sedang berkembang pesat dengan lebih dari 1.000 lembaga
keuangan syariah dan gabungan aset lebih dari $1.300.000.000.000 (Reuters
2013). Pengembangan keuangan mikro berbasis syariah sedikit lebih produktif. Sejak tahun 2006,
jumlah lembaga penyedia layanan keuangan yang menawarkan produk keuangan mikro
syariah telah mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat dan terdapat
peningkatan sebanyak empat kali lipat jumlah muslim berekonomi rendah yang
menggunakan produk berbasis syariah (diperkirakan 1,28 juta) dalam beberapa
tahun terakhir (El-Zoghbi dan Tarazi 2013). Namun, total dari seluruh jumlah
pengguna layanan keuangan mikro syariah hanya mewakili kurang dari 1 persen dari
total jumlah pengguna layanan keuangan mikro konvensional.
Maka dari itu, keuangan syariah
ditantang kemampuannya dalam sektor keuangan mikro untuk menyediakan layanan
dan jasa produk keuangan mikro berbasis syariah yang berkelanjutan yang dapat
dijangkau oleh masyarakat berekonomi rendah. Sistem keuangan yang baru lahir
tersebut harus terus berjuang untuk menemukan model bisnis yang berkelanjutan
dengan ruang lingkup produk yang lebih luas dan dapat memenuhi kebutuhan
keuangan masyarakat dengan latarbelakang agama dan budaya yang beragam,
khususnya bagi umat Islam dengan tingkat ekonomi rendah. Dengan tetap
berprinsip bahwa layanan jasa dan produk keuangan syariah merupakan dorongan dari penciptaan kekayaan
untuk meminimalisir kesenjangan ekonomi dan sosial melalui investasi modal
dalam kegiatan usaha yang mengharuskan adanya profit-loss sharing.
Keuangan inklusif syariah juga
mengemban misi pengentasan kemiskinan bagi umat Islam di dunia, khususnya di
Indonesia. Mengentaskan kemiskinan bagi umat Islam artinya juga menurunkan
secara signifikan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Keuangan inklusif syariah secara
filosofis sejalan dengan semangat keuangan syariah. Sudah selayaknya jika
perbankan turut andil dalam menjaring lembaga-lembaga sosial ekonomi
kemasyarakatan untuk sama-sama mengembangkan kegiatan ekonomi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi syariah.
Ke depan, lembaga
perbankan syariah nantinya diharapkan dapat turut mendongkrak perekonomian masyarakat di daerah-daerah terpencil, perbatasan
atau pedesaan. Melalui program Laku Pandai
dari perbankan syariah, masyarakat
akan semakin mudah mendapatkan informasi
dan akses. Demikian pula perbankan syariah akan semakin mudah memahami kebutuhan
masyarakat di daerah-daerah terpencil, perbatasan atau pedesaan sehingga dapat mendesain produk keuangan syariah yang sesuai dengan standar kemampuan
masyarakat pedesaan.
Oleh karena itu, keuangan inklusif
berbasis syariah menjadi perhatian cukup penting bagi pemerintah, lembaga
penyedia jasa keuangan, dan pemangku kepentingan keuangan inklusif lainnya di
seluruh dunia, khususnya di Indonesia.
2.2.
Peran Perbankan Syariah dalam Keuangan Inklusif
Peran
perbankan syariah dalam keuangan inklusif adalah sebagai perantara keuangan
yang memberdayakan masyarakat kecil melalui layanan jasa dan produk dengan
prinsip partnership dan profit-loss sharing yang mudah dijangkau
(murah, mudah, cepat, efisien, sederhana dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat).
Hal tersebut sesuai karakter perbankan syariah yang memang sedari awal sudah
harus inklusif. Perbankan syariah juga harus mampu memaksimalkan perannya dalam
keuangan inklusif dengan mengeluarkan mengeluarkan produk tabungan yang ramah
bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang umumnya mayoritas berada di daerah-daerah
terpencil, perbatasan atau pedesaan. Dana
yang dipinjamkan bisa disesuaikan kebutuhan dan kemampuan mereka
dalam membayar. Selain dapat mengenalkan produk bank syariah kepada masyarakat,
bank syariah juga akan membantu dalam perkembangan perekonomian masyarakat di
daerah-daerah terpencil, perbatasan atau pedesaan sehingga kesenjangan ekonomi
dan sosial akan terkikis dengan sendirinya. Selain itu, perbankan syariah
sebagai lembaga keuangan berperan utama dalam hal membangun kepercayaan
masyarakat akan jaminan layanan dan produk keuangan syariah.
Keberadaan
perbankan syariah juga harus menjadi lembaga yang mampu menginsyafkan para
rentenir dan harus mampu menghindarkan masyarakat dari berbagai produk yang
tidak sesuai syariah. Hal ini penting, terlebih perbankan konvensional lebih
dulu menyelami program Laku Pandai ini, sehingga banyak masyarakat muslim yang
kembali terjebak menggunakan produk dan jasa keuangan berbasis bunga yang tidak
syariah. Terbebas dari rentenir, mereka masuk ke jurang perbankan konvensional.
Ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.
2.3. Peluang Perbankan
Syariah dalam Program Laku Pandai
Kemampuan
bertahan perbankan syariah dalam menghadapi instabilitas ekonomi, seperti pada
krisis ekonomi tahun 1998, krisis ekonomi global tahun 2008 dan krisis ekonomi yang melanda
Eropa pada tahun 2011 silam merupakan modal utama dalam menginklusifkan
perannya dalam program Laku Pandai.
Secara
demografis, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
yakni 87,18% dari total jumlah penduduknya beragama Islam (BPS, 2010). Dari
mayoritas penduduk muslim tersebut, disinyalir merupakan penyumbang angka unbanked
yang besar di Indonesia. Jelas hal tersebut menguntungkan bagi perbankan
syariah jika mampu memaksimalkan strategi bisnis mereka.
Perbankan
syariah sebenarnya memiliki ‘potensi aset’ yang baik untuk meningkatkan daya
saingnya dalam program Laku Pandai ini, yaitu karakteristik produknya yang
dirancang lebih syar’i bagi umat Islam. Apabila produk-produk perbankan syariah
dikelola dan dioperasikan dengan baik serta tempat pelayanan mudah dijangkau
oleh nasabah, bukan tidak mungkin masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim akan
dengan suka rela beralih ke perbankan syariah. Kehadiran program Laku Pandai
bisa digunakan sebagai strategi untuk mengatasi kelemahan infrastruktur perbankan
syariah. Dengan program Laku Pandai, perbankan syariah dapat memperluas pasar
tanpa harus investasi besar-besaran untuk membuka cabang atau memasang ATM
baru. Ditambah lagi teknologi yang dimiliki oleh perbankan syariah dinilai
sudah cukup mumpuni dengan daya guna tinggi yang dapat menunjang kebutuhan
operasionalnya.
Keseriusan
dukungan pemerintah melalui Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan yang terhadap
perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir juga menjadi nilai tambah untuk
memperbesar peluang perbankan syariah dalam melebarkan sayap bisnisnya. Selaku
regulator, Pemerintah (BI dan OJK) memberikan perhatian yang serius dan
bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa maslahat bagi keuangan
inklusif untuk peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
2.4. Kendala Program Laku
Pandai bagi Perbankan Syariah
1.
Minimnya Infrastruktur dan Jaringan Informasi
Penunjang
Wilayah
operasional Laku Pandai yang sebagian besar memiliki topografi yang terdiri
atas banyak pegunungan, perbukitan dan sungai serta kurangnya dan belum
maksimalnya infrastruktur pendukung penyelenggaraan seperti listrik, BTS, jalan
raya yang merata, transportasi, dan teknologi informasi di daerah juga menjadi
kendala utama yang menyulitkan perbankan syariah dalam memaksimalkan kegiatan
usahanya.
Dalam
kegiatan operasionalnya, seperti penyuluhan, pelatihan, melakukan pendampingan
agen, dan juga menghimpun dana atau memberikan pembiayaan kepada nasabah
melalui agen yang didukung kantor cabang di daerah setempat, perbankan syariah
memerlukan infrastruktur yang memadai agar pelayanan yang diberikan lebih
terjamin dan sesuai dengan yang direncanakan.
Selain itu, dalam mengoptimalkan program Laku Pandai, perbankan syariah menggunakan
teknologi informasi sebagai inti pelayanannya. Oleh karena itu, apabila
infrastruktur jaringan komunikasi di
wilayah pedesaan belum memadai, maka perbankan syariah tidak mampu menjalankan
program Laku Pandai dengan optimal.
2.
Minimnya Agen yang Berminat
Program
inisiasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang keluar sejak Maret 2015 lalu
nyatanya kurang minat, utamanya dalam menarik minat orang jadi agen yang acap
disebut agen branchless banking ini.
Masyarakat yang berminat turut serta menjadi agen program Laku Pandai masih
jauh dari yang diharapkan. Hingga kini, bank-bank syariah, bahkan bank-bank
konvensional masih kesulitan mencari agen-agen untuk menjangkau masyarakat
pelosok yang selama ini belum terjangkau layanan keuangan. Menurut Santoso,
kendala tersebut terletak pada lokasi agen yang jauh dari jangkauan kantor
cabang sebagai service point
pendukung.
3.
Rendahnya Tingkat Pemahaman Agen dan Masyarakat
Tentang Perbankan Syariah
Tingkat pemahaman masyarakat, khususnya di
daerah mengenai perbankan syariah
masih tergolong rendah. Layanan produk dan jasa keuangan
perbankan syariah dalam program Laku Pandai yang lebih rumit dibandingkan
dengan perbankan konvensional serta
dengan masih terbatasnya pemahaman masyarakat, agen Laku Pandai,
bahkan Sumber Daya Manusia perbankan syariah itu sendiri mengenai kegiatan usaha jasa keuangan perbankan syariah,
menyebabkan banyak masyarakat yang memiliki persepsi yang kurang tepat mengenai
operasional bank syariah. Mereka mengatakan bank syariah hanya sekedar perbankan konvensional yang
ditambah label syariah dan beranggapan bahwa dengan tidak dijalankannya sistem
bunga, bank syariah tidak akan memperoleh pendapatan. Hal
tersebut dikarenakan gap yang
membedakan layanan dan produk perbankan syariah dengan layanan dan produk
perbankan konvensional semakin lama semakin terkikis, sehingga perbankan
syariah semakin menyerupai perbankan konvensional. Konsekuensinya adalah bank syariah akan sulit untuk
memaksimalkan
peluang bisnisnya.
4.
Regulasi yang Menyulitkan
Bank-bank
syariah yang dapat menjadi penyelenggara Laku Pandai harus memenuhi
syarat-syarat yang umum seperti berbadan hukum Indonesia, memiliki profil
risiko sesuai yang dipersyaratkan, memiliki jaringan kantor di wilayah
Indonesia timur dan Nusa Tenggara Timur, memiliki produk dan aktivitas sms banking/mobile banking dan internet banking/host to host, dan sudah
memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, Otoritas Jasa
Keuangan juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan kawasan tinggal agen Laku
Pandai harus terdapat kantor cabang bank syariah. Peraturan tersebut tentu
sangat memberatkan perbankan syariah. Hal tersebut dikarenakan aset
infrastruktur yang dimiliki perbankan syariah masih kurang memadai serta
minimnya modal perbankan syariah untuk melakukan ekspansi.
2.5. Risiko Program Laku
Pandai bagi Perbankan Syariah
Tidak
ada yang memungkiri bahwa program yang memungkinkan bank bisa melayani nasabah
hingga ke pelosok-pelosok tanpa harus mendirikan kantor adalah sebuah langkah
revolusioner. Otoritas Jasa Keuangan, telah menyadari, agar bisa memberi
manfaat nyata kepada rakyat banyak dan sekaligus kepada perekonomian, sejak
berdirinya langsung menggeber program branchless banking.
Studi
yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan
keuangan selama ini menyimpulkan bahwa program branchless banking sangat
bermanfaat untuk meningkatkan akses masyarakat kepada layanan perbankan.
Menurut riset Bank Dunia 2010, Indonesia termasuk negara dengan akses keuangan
yang minim yaitu sekitar 49 persen dari populasi penduduk belum terlayani jasa
keuangan.
Sangat
terkonsentrasinya pendirian kantor bank di wilayah perkotaan khususnya di Pulau
Jawa sedikit demi sedikit juga akan terurai oleh program yang disebut Laku
Pandai itu.
Namun
saking menggebunya, OJK bisa saja melewatkan sisi yang paling menakutkan untuk
setiap kebijakan yaitu dampak negatif atau dengan kata lain risiko dari
pelaksanaan program branchless banking atau Laku Pandai. Menurut Gayatri Rawit
Angreni, pakar manajemen risiko, ada delapan risiko yang mengintai program
tersebut. Risiko-risiko itu sejatinya juga muncul melalui pintu-pintu yang sama
ketika bank melayani nasabah secara langsung.
1)
Risiko Pembiayaan/Pinjaman
Yaitu
kerugian bank karena tidak terbayarnya pinjaman kepada debitur mikro melalui
rekomendasi agen. Karena seleksi calon debitur banyak tergantung pada
kompetensi agen.
2)
Risiko Pasar.
Risiko
ini merupakan yang paling rendah potensi kemunculannya, mengingat transaksi ini
tidak menggunakan mata uang asing dan kemungkinan kecil adanya mismatch suku bunga simpanan dengan suku
bunga pinjaman.
3)
Risiko Likuiditas
Yakni
ketidakmampuan bank atau agen menyediakan dana kepada para debitur dan penabung
yang akan menarik dananya. Menurut Gayatri, hal itu bisa terjadi ketika
terdapat transaksi yang tidak seimbang antara pinjaman dan simpanan pada satu
agen dan akhirnya berimbas pada posisi likuiditas bank penyelenggara di lokasi
tertentu.
4)
Risiko Hukum
Yaitu
risiko yang dapat terjadi ketika bank dan agen menghadapi tuntutan hukum dari
nasabah yang mengalami kerugian akibat pengelolaan Laku Pandai yang tidak
cermat. Risiko hukum juga dapat terjadi ketika perbankan syariah memberikan
layanan kepada nasabah melalui perantara agen. Dalam pelayanan pembiayaan,
apabila data nasabah dihilangkan agen, debitor akan kesulitan mengembalikan
pinjamannya.
5)
Risiko Operasional.
Risiko
ini adalah yang berpeluang paling besar untuk terjadi. Risiko operasional
terjadi dan menimbulkan kerugian bank karena adanya kegagalan sistem, proses,
dan terjadinya kecurangan (fraud)
pada bank dan atau agen. Menurut Gayatri, ketika teknologi dan sistem informasi
program ini masih baru diimplementasikan, tentunya masih terdapat ruang yang
belum sepenuhnya aman dari terjadinya kesalahan, bahkan penyimpangan, baik
karena ketidaktahuan maupun unsur kesengajaan dari agen dan nasabah. Dengan
peralatan Laku Pandai yang cukup banyak, yakni telepon selular, alat gesek
kartu (EDC), kartu ATM, komputer, dan electronic
devices lainnya, maka terbuka peluang kesalahan dalam penggunaannya.
Menurut
Gayatri, bank dan juga otoritas harus pasang mata pada risiko operasional dan
menyiapkan mitigasinya. Layanan Laku Pandai yang menggunakan transaksi e-banking , memang sudah dikawal dengan
alat pengaman, yaitu prinsip keaslian dengan dua faktor (two factor authentication), dan prinsip repudiation dengan messaging
security, serta end to end encryption.
Namun demikian kemungkinan pembobolan dan pemalsuan data nasabah, serta
kecurangan agen dan nasabah tetap tidak bisa dianggap remeh begitu saja.
Beberapa
praktik yang berpeluang menimbulkan risiko operasional, menurut Gayatri, yaitu
tata cara penggunaan nomor rahasia (PIN) dan password, serta penyalahgunaan electronic
devices dan instrumen kepada pihak lain. Oleh karena itu, selain seleksi
agen dengan cermat, pengawasan internal dan edukasi nasabah adalah upaya yang
mutlak dilakukan bank untuk mengendalikan risiko operasional. Penerapan branchless banking dinilai harus bisa
memenuhi sisi keamanan dan perlindungan nasabah, karena akan menggunakan agen
untuk menjalankan produk-produknya ke masyarakat.
Setali
tiga uang, pengamat ekonomi Aviliani juga sepakat bahwa yang patut menjadi
perhatian bank adalah risiko operasional karena berpeluang menjadi sumber
penyebab risiko dari layanan branchless
banking. Menurutnya, risiko terbesar adalah operasional karena dalam branchless banking ini melibatkan sangat
banyak agen yang bisa bermasalah.
6)
Risiko Kepatuhan.
Risiko
ini mudah terpercik ketika bank dan agen tidak memenuhi ketentuan dan
persyaratan baik yang terkait syariah maupun tidak syariah yang telah
ditetapkan oleh otoritas maupun regulator lainnya. Akibat yang terjadi bisa
berupa sanksi dan denda kepada bank, bahkan penurunan tingkat kesehatan bank.
Tetapi risiko terburuk yang mungkin terjadi adalah pencabutan status keagenan
dan penuntutan hukum serta pengembalian ganti rugi kepada nasabah atau bank.
7)
Risiko Strategis
Yaitu
risiko yang diderita bank karena perencanaan program Laku Pandai yang tidak
cermat dan atau kegagalan pada tahap implementasi, sehingga target dan sasaran
Program Laku Pandai tidak tercapai. Risiko strategis bisa dipantau dari rencana
Laku Pandai yang tercantum pada Rencana Bisnis Bank (RBB) dan dibandingkan dengan
realisasinya di lapangan. Risiko strategis sangat mungkin terjadi, terlebih
ketika usia program yang masih sangat dini dan tingkat sosialisasi yang belum
optimal, ditambah dengan kompetensi para penyelenggaranya yang masih pada tahap
proses pembelajaran. Namun dengan berjalannya waktu dan pengalaman yang
diperoleh, tingkat risiko strategis akan menurun.
8)
Risiko Reputasi
Yaitu kerugian
yang diakibatkan karena pemberitaan dan persepsi negatif publik yang
disebarluaskan melalui media masa. Akibatnya adalah nama baik agen dan reputasi
bank tercemar. Penyebab pemberitaan negatif bisa dari keluhan nasabah yang
tidak memahami transaksi Laku Pandai, pelayanan dan produk yang diberikan tidak
sesuai dengan syariah atau memang adanya kesalahan pihak bank dan agen terkait
operasionalnya. Menurut Gayatri, layanan branchless banking dengan profil
pelanggan yang kebanyakan masyarakat kecil, sangat peka terhadap kegagalan bank
baik di internalnya maupun dalam membina semua agennya. Apabila menimbulkan ketidaknyamanan
atau ketidakpuasan nasabah, tentu produk syariah dan juga Laku Pandai yang
masih baru ini akan menciptakan penolakan yang masif dari masyarakat dan tujuan
inklusi keuangan syariah bisa gagal.
2.6. Strategi Perbankan
Syariah dalam Program Laku Pandai
Perlu
diketahui bahwa keberhasilan perbankan syariah dalam menyediakan akses layanan
jasa dan produk keuangan syariah yang dapat dijangkau oleh masyarakat desa
berekonomi rendah tidak serta merta membuat masyarakat tetap terus menggunakan
layanan jasa dan produk keuangan yang diberikan. Perbankan syariah harus
menyediakan pilihan layanan yang khas dan senantiasa dipilih dan dapat
memuaskan masyarakat ditengah gencarnya inovasi layanan perbankan konvensional.
Maka
dari itu, strategi yang perlu dijalankan oleh bank syariah adalah bagaimana
bisa merekrut, melatih dan mendayagunakan agen-agen Laku Pandai yang handal,
terutama untuk lokasi-lokasi potensial yang belum terjangkau oleh bank konvensional.
Banyak komunitas-komunitas potensial yang bisa digarap oleh bank syariah,
seperti pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah Islam terpadu,
komunitas-komunitas masjid, dan sebagainya. Maka, bank syariah harus
mengedukasi, memberikan pelatihan dan melakukan pendampingan langsung terhadap
agen-agen Laku Pandai perbankan syariah. Mengedukasi masyarakat terkait layanan
jasa dan produk keuangan tidak kalah penting untuk dilakukan oleh perbankan
syariah.
Untuk
menanamkan cengkraman bisnisnya, perbankan syariah harus mempunyai perbedaan layanan
jasa dan produk yang sangat jelas dibanding dengan perbankan konvensional dan rentenir (shadow
banking) sebagai kompetitor mereka. Upaya yang harus dilakukan adalah
dengan memaksimalkan produk pembiayaannya melalui skema mudharabah, musyarakah
ataupun memberikan pinjaman dana atau bantuan sosial ekonomi cuma-cuma dengan
memberikan zakat, sedekah ataupun qardhul hasan . Ini dikarenakan peran sosial
yang melekat di perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang dianggap mampu
memberikan akses layanan keuangan kepada masyarakat pelosok atau berekonomi
lemah untuk meningkatkan produktivitas mereka dalam berekonomi.
Selama
ini masyarakat desa atau berekonomi lemah memiliki masalah yang sudah mendera
dari waktu ke waktu. Mereka kesulitan mendapatkan dana pinjaman untuk keperluan
usaha dari lembaga keuangan dikarenakan sulitnya persyaratan yang diterapkan
oleh pihak lembaga keuangan, khususnya persyaratan terkait jaminan (collateral), sehingga mereka tidak
mempunyai pilihan lain selain meminjam dana dari para rentenir. Ditambah lagi
kemudahan persyaratan yang diberikan, membuat masyarakat lebih memilih meminjam
dari rentenir meski dengan bunga yang lebih tinggi.
Oleh
karena itu, perbankan syariah harus menyediakan produk dan plafon pembiayaan
yang sederhana, dapat dijangkau, mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang belum dapat menjangkau layanan keuangan saat ini. Inovasi dan
efisiensi terhadap produk pembiayaan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan
oleh perbankan syariah.
Namun,
strategi tersebut tidak akan optimal apabila masyarakat yang menjadi segmen
pasar perbankan syariah masih belum memahami layanan jasa dan produk perbankan
syariah. Maka, strategi utama yang harus diimplementasikan oleh perbankan
syariah untuk memaksimalkan perannya dalam keuangan inklusif melalui program Laku
Pandai adalah dengan melakukan edukasi dan kampanye nasional terkait keuangan syariah.
Perbankan
syariah perlu menyusun materi Literasi Keuangan syariah yang mencakup
seluruh sektor jasa keuangan syariah untuk setiap jenjang pendidikan
formal, komunitas, profesi, para ulama, ustadz, ormas Islam, pesantren, majlis
ta’lim dan para pelaku usaha menengah kecil mikro di daerah guna meningkatkan
pengetahuan dan keyakinan masyarakat tentang lembaga keuangan syariah, produk
dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan resiko, hak dan kewajiban
terkait produk dan jasa keuangan syariah, serta keterampilan dalam menggunakan
produk dan jasa keuangan.
BAB
III
Penutup
3.1
Kesimpulan
Keuangan
inklusif adalah seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan
yang bersifat harga maupun non harga, terhadap akses masyarakat dalam
memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Di
Indonesia, untuk mewujudkan keuangan inklusif, Otoritas Jasa Keuangan
menginisiasikan program branchless system yang dinamai Layanan Keuangan Tanpa
Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (LAKU PANDAI), yaitu kegiatan layanan
jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan melalui kerjasama dengan
pihak ketiga (agen) dan menggunakan sarana teknologi seperti mobile based maupun web based dalam rangka keuangan inklusif.
Peran
perbankan syariah dalam keuangan inklusif adalah sebagai perantara keuangan yang
memberdayakan masyarakat kecil melalui layanan jasa dan produk dengan prinsip partnership dan profit-loss sharing yang mudah dijangkau (murah, mudah, cepat,
efisien, sederhana dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat). Hal tersebut sesuai
karakter perbankan syariah yang memang sedari awal sudah harus inklusif.
Namun
dalam implementasinya, perbankan syariah harus bekerja keras untuk menghadapi
berbagai kendala dan resiko yang muncul dari keikutsertaannya dalam program
Laku Pandai
3.2
Daftar Pustaka
Andriansyah, Yuli. 2009. Kinerja Keuangan Perbankan Syariah di Indonesia dan Kontribusinya bagi
Pembangunan Nasional. Yogyakarta: La_Riba Jurnal Ekonomi Islam
Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Bank
Indonesia 2014. Buku Saku Keuangan
Inklusif
El-Zoghbi, Mayada dan Kaylene Alvarez. 2015. Understanding Costs and Sustainability of
Sharia-Compliant Microfinance Products. Washington, DC: CGAP
El- Zoghbi, Mayada dan Michael Tarazi. 2013. Trends in Sharia-Compliant Financial
Inclusion. Washington, DC: CGAP
Global Financial Development Report 2014. Financial Inclusion
Haryanto, Joko Tri. 2015. Mewujudkan APBN yang Inklusif. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan
Kasmiati dan Yesi Hendriani Supartoyo. 2013. Branchless Banking Mewujudkan Keuangan
Inklusif Sebagai Alternatif Solusi Inovatif Menanggulangi Kemiskinan.
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Lyman, Timothy dkk.
2015. Inclusive Finance and Shadow
Banking: Worlds Apart or Worlds Converging?. Washington, DC: CGAP
MIFC
Insight Report Financial Inclusion. Enhancing Financila Inclusion Through
Islamic Finance.
Mohieldin,
Mahmoud dkk. 2012. The Role of Islamic Finance in Enhancing Financial Inclusion in
Organization of Islamic Cooperation
(OIC) Countries. Doha:
Islamic Economies Studies
Naceur,
Sami Ben dkk. 2015. Can Islamic Banking Increase Financial
Inclusion?. IMF Working Paper
Pickens, Mark dkk.
2009. Scenarios for Branchless Banking in
2020. Washington, DC: CGAP
Rakhmindyarto dan Syaifullah. 2013. Keuangan Inklusif dan Pengentasan Kemiskinan.
Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Sari,
Putrina Sari. Strategi Pembiayaan Perbankan Syariah dalam Mendukung Keuangan Inklusif
Bagi Sektor Mikro Melalui Pendekatan ANP (Analytic Network Process).
Bogor: Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
Segrado, Chiara. 2005. Islamic Microfinance and Socially Responsible Investments. Torino: Media Project Microfinance at the University of Torino
Soursourian, Matthew dkk. 2015. Current Trends in
International Funding for Financial Inclusion. Washington, DC: CGAP
Tunggal,
Amin Widjaja. 2016. Enterprise Risk
Management. Jakarta: Harvarindo